DENPASAR, BERITA DEWATA – Maestro tari Bali sekaligus budayawan senior, Prof Dr I Wayan Dibia, mengungkap makna mendalam di balik penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025. Dalam sesi podcast PKB yang digelar di Art Centre Denpasar, Senin (23/6), Dibia menyoroti pentingnya pelestarian budaya dan proses regenerasi seni di Bali.
“PKB bukan sekadar festival, tapi wadah penguatan identitas budaya dan proses alih generasi,” kata Dibia.
Ia bercerita, keterlibatannya dalam PKB dimulai sejak 1979 lewat sendratari kolosal Ramayana Tujuh Kanda, kolaborasi antara ASTI dan KOKAR. Pada 1985, ia dipercaya menjadi koordinator pergelaran dan aktif menelusuri potensi seni di desa-desa.
“Desa adat kita itu seperti perpustakaan hidup. Setiap desa punya kekhasan dan struktur seni yang luar biasa,” jelasnya.
Dibia menjelaskan, tema PKB 2025 bertajuk Seni Semesta Raya menjadi landasan utama kurasi. Ia menekankan pentingnya memberikan ruang kreativitas bagi masing-masing kontingen agar tidak tampil seragam.
“Kita beri batas, tapi bukan membatasi kreativitas. Justru karakter desa harus tampil,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara seni sakral dan seni pertunjukan. Salah satunya melalui bentuk seni wewalian, yang dikembangkan secara teatrikal tanpa meninggalkan nilai-nilai sakral.
Dalam kurasinya, Dibia menekankan porsi 60% pelestarian dan 40% pengembangan. Budaya luar, katanya, boleh saja masuk, tapi harus tetap diolah agar menyatu dengan jati diri Bali.
“PKB bisa jadi panggung budaya global, tapi tetap harus berpijak pada nilai-nilai lokal,” tegasnya.
Soal antusiasme internasional terhadap PKB, Dibia melihatnya sebagai peluang besar. “Ini bukan ancaman, justru potensi. Lewat PKB saya melihat regenerasi seni yang menjanjikan. Ini bukan sekadar pekerjaan, tapi bagian dari hidup saya,” tutupnya.