Garda Tipikor Klungkung Sebut Kasus Perjalanan Dinas DPRD Klungkung Menguap di Kejaksaan Tinggi Bali

Ketua DPD Garda (Gerakan Terdepan) Tipikor Kabupaten Klungkung Made Raka Adnyana didampingi Wakil Ketua Nyoman Suastika mempertanyakan kelanjutan kasus Perdin (Perjalanan Dinas) Klungkung melibatkan anggota DPRD Klungkung.

Beritadewata.com, Denpasar – Ketua DPD Garda (Gerakan Terdepan) Tipikor Kabupaten Klungkung Made Raka Adnyana didampingi Wakil Ketua Nyoman Suastika mempertanyakan kelanjutan kasus Perdin (Perjalanan Dinas) Klungkung melibatkan anggota DPRD Klungkung. Kasus yang sempat diendus Kejaksaan Tinggi Bali ini makin tidak jelas. Pihaknya sangat menyesalkan kasus yang menyeret sejumlah pejabat di Klungkung mulai dari anggota DPRD, Sekwan, itu malah mengambang.  Padahal sebelumnya sudah beredar kabar turunnya Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) dari kejaksaan tinggi Bali.

Menurut Made Raka, sebagai Garda Tipikor Klungkung, dirinya mendapatkan amanat dari sejumlah elemen masyarakat Klungkung untuk memperjelas kasus tersebut, dan menanyakan secara langsung di Kejaksaan Tinggi Bali. “Kami sudah mendatangi Kejaksaan Tinggi Bali, pada Senin (20/3). Namun saat itu Kepala Kejaksaan Tinggi Bali sedang mengunjungi lokasi bencana di Songan, Kintamani, kami hanya diterima oleh Humas Kejati Bali Ashari Kurniawan,” ujarnya di Denpasar, Selasa (21/3). Garda Tipikor Klungkung ingin ada kejelasan dari kasus ini agar tidak mengambang dan tidak jelas, sehingga masyarakat malah tidak mendapat informasi yang jelas. Apakah kasus ini bisa ditingkatkan berlanjut atau tidak. Jangan sampai jadi bola liar dan kasus ini bisa diketahui secara benar dan transparan.

Pada kesempatan itu, Garda Tipikor Klungkung juga mempertanyakan tentang Sprindik yang pernah beredar di media massa yang berkaitan dengan kasus Perjalanan Dinas di DPRD Klungkung ke Jakarta tahun 2015 lalu. Dikatakan sekitar 50 orang dari elemen masyarakat Klungkung yang tergabung dalam Garda Tipikor menanyakan kasus itu. “Kita hanya dapat jawaban dari Jaksa yang namanya dipanggil Pak Akmal. Jaksa inilah yang melakukan penyelidikan kasus itu. Tapi dari keterangannya katanya tidak cukup bukti. Padahal sudah beredar di masyarakat, sudah turun Sprindiknya, sehingga kita datang menanyakan hal itu,” jelasnya. Jaksa mengaku sudah melakukan penyelidikan sampai cros cek di salah satu hotel dan mengakui ada bookingan di hotel tersebut yakni Hotel Borobudur Jakarta. Namun jaksa mengaku jika di hotel tersebut, sudah dibooking tetapi tidak ada yang menginap. “Padahal sudah menginap di tempat lain tapi jaksa tidak bisa membuktikan itu,” sesalnya.

Wakil Ketua Garda Tipikor Klungkung Nyoman Suastika menyebutkan Jaksa hanya bisa meminta bukti baru untuk melanjutkan kasus itu. “Tanggapan Kejati itu tidak memuaskan, karena selama ini tidak ada ekspose ke media. Kita minta kejaksaan agar mengekspose sehingga masyarakat jelas terhadap kelanjutan tersebut,” sambungnya. Untuk itu, Garda Tipikor akan kembali berkoordinasi dengan elemen masyarakat Klungkung, karena jika ada bukti baru akan ditindaklanjuti kasus itu. Tapi pihaknya juga meminta ekspose dari kejaksaan apakah kasus ini dilanjutkan atau tidak. “Kita ingin pertanyakan jika sudah ada bokingan kamar hotel dan malah menginap di tempat lain khan sudah ada fakta perbuatan melawan hukum tapi sayangnya tidak mau ditindaklanjuti. Semestinya juga Kejaksaan menggali, karena sudah ada indikasi perbuatan melawan hukum tapi tidak digali lebih dalam,” tandasnya.

Modus penipuan tersebut antara lain, para anggota dewan yang melakukan perjalanan dinas ke Jakarta tersebut, membooking Hotel Borobudur tetapi di lantai 4. Padahal di Hotel Borobudur lantai 4 tidak ada kamar tidur melainkan ruangan konvensi. Sementara harga di Hotel Borobudur permalamnya Rp 4 juta. “Mereka booking di hotel berbintang yang harganya Rp 4 juta permalam, tetapi rombongan malah tinggal di hotel melati yang harganya Rp 150 ribu perkamar. Kami memiliki banyak informan soal data itu. Tetapi Jaksa tidak bisa menyelidiki secara benar dan terang benderang,” ujarnya.

Garda Tipikor juga menyentil kasus dana hibah yang menyeret Anggota DPRD Klungkung, I Wayan Kicen Adnyana, sehingga sangat mengapresiasi kinerja Polres Klungkung, dibandingkan dengan Kejati Bali yang mengungkap kasus Perjalan Dinas. Tapi sayangnya, kasusnya seperti tebang pilih karena dana hibah pasti diawali dengan proposal dari lembaga masyarakat yang memiliki panitia yang menandatangi proposal secara prosedural. Setelah proposal dibuat semestinya selaku anggota DPRD boleh memfasilitasi. Namun sebelumnya harus ditindaklanjuti instansi terkait yakni Kabag Kesra dan Dinas Pariwisata dengan melakukan klarifikasi proposal ke masyarakat. Mestinya sesuai prosedur ada investigasi tentang kebenaran letak bantuan ataupun kepanitiaan setelah itu baru ada hasil kajian di lapangan. Setelah itu baru ada rekomendasi layak atau tidaknya proposal yang akan ditindaklanjuti bupati yang menentukan bantuannya boleh atau tidak dicairkan. “Seperti Pak Kicen kok malah jadi tersangka, padahal hanya memfasilitasi. Semestinya dari Kesra termasuk bupati harus bertangganggujawab dan memberikan klarifikasi. Kenapa Pak Kicen saja yang menjadi tersangka,” sebutnya.

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here