Keteladanan Buchari Syamsi: Sosok Lokal, Nilai Nasional

Almarhum H. Buchari Syamsi, SE.

Ketika seorang tokoh publik berpulang, publik biasanya mengingat pencapaian formalnya: jabatan, gelar, atau pengaruh politik. Namun dalam kasus almarhum H. Buchari Syamsi, SE, yang wafat pada 27 Juni 2021 lalu, yang terasa hilang bukan sekadar “kursi” seorang tokoh Betawi, melainkan juga ruh kepemimpinan moral yang sederhana, bersih, dan menyentuh hingga ke akar rumput.

Buchari bukan nama besar dalam politik nasional. Ia bukan menteri, bukan anggota DPR, bukan pula figur publik yang rajin tampil di layar kaca. Namun ia adalah salah satu penjaga nurani Betawi, yang hidup sepenuhnya untuk masyarakatnya—tanpa pamrih, tanpa citra.

Selama lebih dari tiga dekade, Buchari konsisten mengabdi lewat jalur politik Partai Golkar, mulai dari tingkat kelurahan hingga memimpin DPD II Jakarta Selatan. Tapi yang lebih penting dari itu adalah: ia tak pernah menukar idealisme dengan pragmatisme. Di tengah derasnya arus politik transaksional, Buchari tampil sebagai pengecualian. Sebagai kader, ia pernah berkata:

“Menjadi kader itu bukan sekadar ikut bendera partai, tapi ikut menegakkan nilai yang diyakini untuk kebaikan rakyat.”

Kalimat itu terasa sederhana. Tapi dalam konteks politik hari ini, justru menjadi pernyataan yang mahal.

Pemimpin RW, Guru Jalanan, dan Pengikat Keluarga

Selama 20 tahun menjabat sebagai Ketua RW di Ragunan, Jakarta Selatan, Buchari Syamsi bukan sekadar “pemegang stempel lingkungan”. Ia pemimpin sosial yang aktif, progresif, dan dihormati warga. Kepemimpinannya bahkan diganjar penghargaan Ketua RW Terbaik se-DKI Jakarta—sebuah pencapaian yang lahir bukan dari lobi birokrasi, tapi dari kerja nyata di lapangan.

Yang menarik, ia juga seorang pengikat keluarga. Ia menggagas paguyuban “Khair Bersaudara” sebagai upaya melestarikan silaturahmi lintas generasi dalam satu trah keluarga. Gagasannya sederhana tapi besar: keluarga adalah pondasi sosial yang tidak boleh tercerai oleh waktu dan jarak. Kini, paguyuban itu dihuni oleh lebih dari 3.000 anggota aktif.

Nilai pengabdian Buchari bahkan menembus batas rumah dan kantor. Ia dikenal membela guru ngaji, marbot, dan pengajar madrasah. Dalam banyak kesempatan, ia menekankan pentingnya negara memperhatikan “pasukan akhlak” ini—karena justru di tangan merekalah nilai bangsa dipertahankan dari kerusakan moral.

“Jangan biarkan guru ngaji dilupakan. Mereka menjaga generasi dari kerusakan moral,” ucapnya dalam sebuah forum warga.

Jejak yang Tidak Diam, Warisan yang Tidak Mati

Kepergian Buchari meninggalkan satu pertanyaan penting: masihkah ada tokoh lokal yang memimpin dengan nurani? Di era di mana politik makin elitis, dan kepemimpinan makin terpisah dari rakyat, figur seperti Buchari terasa makin langka.

Ia tidak meninggalkan harta, tapi meninggalkan kehormatan. Ia tidak mengejar kuasa, tapi membangun pengaruh dengan nilai. Dan ia tidak hidup dalam sorotan media, tapi hidup dalam hati warga yang merasakannya secara langsung.

Dalam dunia yang sibuk menciptakan tokoh-tokoh besar dalam dunia maya, Buchari Syamsi adalah tokoh besar dalam dunia nyata. Ia adalah pemimpin yang tidak viral, tapi vital.

Kini, masyarakat Betawi dan warga Jakarta Selatan mungkin telah kehilangan salah satu penjaga nilai lokalnya. Tapi warisan moral yang ia tinggalkan justru semakin relevan untuk diteladani.

Karena bangsa ini tak kekurangan pemimpin formal. Yang kita butuhkan lebih banyak adalah pemimpin yang bersih secara batin, jujur dalam laku, dan hadir dalam hidup masyarakat—seperti almarhum H. Buchari Syamsi.

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here