KLUNGKUNG, BeritaDewata – Beberapa tahun belakangan ini, nampak banyak sekali areal persawahan yang dialih fungsikan untuk pembangunan villa. Khususnya di Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali. Banyak para petani di Ubud yang nerugi dan menyebabkan mereka enggan untuk melanjutkan pertanian, mereka memilih untuk menjual tanah persawahan tersebut dab dialih fungsikan sebagai villa.
Akademisi Pertanian Universitas Udayana, Prof Dr Ir I Wayan Windia, beberapa waktu lalu mengakatan bahwa saat dirinya ikut falam rapat di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Gianyar, dirinya menemukan bahwa di Ubid areal perawahannya nol.
“Minggu lalu saya ikut rapat di Dinas PU Gianyar membahas rancangan tata ruang, dikatakan Ubud areal sawahnya nol. Saya tentang itu, kalau di kota Ubudnya mungkin iya, tetapi di kawasan pinggir Kecamatan Ubud masak tidak ada sawahnya. Itu kan kelihatan sekali akan dirancang pakai hotel semua atau villa, sedangkan saya sendiri yang bina Subak Desa Lodtunduh Ubud seluas 30 hektare,” ujarnya.
Disinggung dengan maraknya pembangunan villa di areal persawahan, pria asli Banjar Gelulung, Desa Sukawati ini pun mengaku terdapat beberapa penyebabnya. Pertama dikatakan air yang didapatkan petani susah, walaupun ada kadang airnya tercemar dengan sampah-sampah. Petani harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sedangkan hasil panennya tidak begitu besar. Sehingga penghasilan yang didapatkan kecil saat panen, dan pengeluarannya besar saat proses penanaman.
“Hal itu yang menyebabkan mereka mengalihfungsikan lahannya dijadikan bangunan dengan melihat hasilnya lebih pasti kedepannya. Seharusnya petani tidak perlu membayar pajak PBB itu, karena petani harus diberikan kebebesan dalam konteks ini. Memang pajaknya tidak seberapa, semestinya harus ada prioritas bagi petani,” ungkap Prof Wayan Windia.
Terlebih saat ini pemerintah telah memberiakn bantuan sebesar Rp 50 juta per subak setiap tahunnya. Ia mengatakan seharusnya bantuan itu benar-benar dimanfaatkan dalam melakukan prosesi ritual yang ada setiap piodalan di Pura Ulun Suwi subak masing-masing. Karena pengakuan Subak oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) adanya petani yang mengatur irigasi bersamaan dengan dilakukannya ritual di pura ulun suwi.
Dalam kesempatan itu, Prof Windia menambahkan kalau tanpa adanya subak, otomatis tidak akan ada yang menghasialkan beras. “Kalau sudah begitu apa yang kita makan?, Subak itu tidak boleh hilang harus dipertahankan sebagai dasar kebudayaan di Bali. Memang mungkin kita mengimpor beras, tetapi itu sangatlah riskan dengan makanan. Di samping itu setiap hektare sawah menahan air 3 ribu ton, kalau tidak ada sawah bisa longsor jadi air bah, terlebih dijadikan pemandangan yang dicari ke Bali oleh turis. Fungsi lainnya memang tidak kelihatan, tetapi sejatinya sangatlah penting,” tandasnya.
Sementara DPRD Gianyar akan segeran mensahkan Raperda menjadi Perda terkiat perlindungan lahan pertanian dan pangan berkelanjutan. Point penting yang diatur dalam ranperda tersebut adalah, adanya bebas pejak untuk tanah pertanian. Sesuai petunjuk kementarian pusat, kabupaten Gianyar sangat direkomendasikan lahan yang wajib dilindungai seluas 3.773 haktar.
Diperkirakan sesuai data yang di himpun hanya akan ada 50 subak yang bisa dilindungi oleh perda ini, jika mengacu rata-rata luas subak 75 hektar. Sementara jumlah subak di kabupaten Gianyar sebanyak 486. Jika dalam ranperda jumlah lahan yang dilindungi sebesar 3.773 haktar dan rata-rata luas subak di Gianyar 75 haktar maka terdapat 50 subak yang dijaga oleh perda ini.