DENPASAR, BERITA DEWATA – Kalijaga Institute For Justice dari UIN Sunan Kalijaga bersama Frod Foundation, Intitut Leimena dan Indonesia Consortium For Religious Studies (ICS) Jogja dan Kemendagri menggelar workshop tentang program yang diambil dari implementasi resolusi PBB disebut 1816 yaitu melawan intoleransi, melawan pelebelan negatif, melawan ujaran kebencian dan melawan kekerasan kepada seseorang dengan basis agama.
Guru Besar Bidang HAM dan Gender Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA mengatakan, masing-masing negara PBB membuat implemen-implemtasi program moderasi beragama. Ketika progam ini dilakukan di Indonesia, maka selalu beririsan dengan moderasi agama. Pendekannya adalah literasi keagamaan lintas budaya.
“Pendekatannya adalah literasi keagamaan antar budaya. Kaitannya dengan moderasi beragama, sebetulnya moderasi beragama itu konsep besarnya. Literasi keagamaan lintas budaya itu adalah cara bagaimana menanamkan atau bagaimana sosialisasikan moderasi beragama kepada masyarakat,” ujarnya saat ditemui pada Sabtu 14 Desember 2024.
Basis dari literasi beragama itu teritoria atau berdasarkan pada wilayah. Kesalahan yang dilakukan selama ini adalah banyak penganut agama yang tidak literate, bahkan pemimpin agamanya juga tidak terliterasi dengan baik.
“Kalau pemeluk agamanya sendiri tidak terliterasi dengan baik, bagaimana mungkin mau meliterasi agama orang lain. Dan ini banyak terjadi di Indonesia. Dia sendiri belum memahami agamanya sendiri secara literet tetapi dia sudah menghakimi agama lain sebagai sesuatu yang salah,” ujarnya.
Kesalahan lain selama ini adalah dialog antarumat beragama itu justeru yang hadir itu para pemuka agama, para elit dan tidak selalu melibatkan jamaah atau umat yang ada di Masjid, Gereja, Pura, Vihara.
“Mulai sekarang kita harus berubah. Sudah saatnya harus tampil lebih maju dimana dalam satu wilayah para pemeluk agama itu harus saling tahu, saling belajar, saling melengkapi. Inilah yang disebut dengan literasi keagamaan lintas budaya. Melalui literasi agama lintas budaya, lintas agama, maka orang biasa yang bukan ahli agama bisa mempunyai kemampuan atau mempunyai kompetensi bagaimana mereka berinteraksi dengan agama yang berbeda,” jelasnya.
Fakta di Indonesia membuktikan bahwa banyak sekali orang beragama itu tidak melalui proses literasi yang baik, lebih banyak mendengar dari orang lain, cenderung memahami agama itu dari apa yang mereka dengar. Literasi beragama itu mendorong umat beragama itu untuk membaca kembali dalam agama itu.
“Misalnya orang muslim menuding bahwa Kristen yang sekarang itu berbeda dengan Kristen di zaman nabi. Tetapi dia sendiri tidak paham bahwa Nabi Muhammad baru lahir sekitar abad ke-6, sementara kristen sudah hidup lebih lama sekitar 6 abad sebelum Nabi lahir. Muslim menuding Trinitas itu sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Coba baca di Surat Al-Maidah ayat 73, ada juga tertulis soal Trinitas,” ujarnya.
Ia meminta agar masing-masing anggota atau penganut agama meliterasi dirinya sendiri, kemudian meliterasi antaragama dalam satu wilayah secara berkelanjutan dan berwawasan global.
Perwakilan peserta lokakarya dari Manggala Pakis Bali, Prof. DR. Dra Ni Ketut Sri Kusuma Wardani mengaku kegiatan seperti ini sangat bagus, harus dilakukan secara berkesinambungan karena negara kita Indonesia itu bermacam-macam suku ras agama dan etnis.
“Dengan adanya keberagaman ini kalau kegiatan hanya sekali sekali saja dilakukan pasti akan masif. Jika dilakukan secara bersinambungan sehingga orang-orang yang intoleran semakin sedikit sehingga munculah toleransi beragama kerukunannya semakin melekat,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kegiatan seperti ini sangat bermanfaat, yang pertama kami mendapatkan pengetahuan, dengan pengetahuan dapat kemudian kita memahami apa yang kita pahami ya masing-masing agama orang lain yang dianut setelah kita memahami hal itu kemudian yang paling penting terjadinya kerukunan dan toleransi akan meningkat.
“Dengan adanya kegiatan seperti ini, semua peserta pengetahuannya terisi, jaringan banyak kita dapat teman baru, bisa berkolaborasi berdiskusi dari berdiskusi itu akan simpul kolaborasi kemudian kita akan selalu mendengungkan bahwa kita ini bersaudara . Kita bangsa Indonesia itu bersaudara, menyama braya, pesemetonan atau berkeluarga,” tutupnya.
Diketahui Penggerak Komunitas dan anggota simpul mengikuti kegiatan Lokakarya Penguatan Kompetensi Kolaboratif Antar Umat Beragama Dengan Tema ” Menyama Braya dalam Keragaman di Bali : Beragamaan, Kebangsaan, Kebersamaan dengan Toleransi Pro Eksitensi,” yang di digelar 14-15 Desember 2024 di B Hotel Denpasar.
Peserta dalam kegiatan ini adalah Simpul WALUBI, Simpul MATAKIN, Simpul MUI, Simpul MPUK, Simpul Keuskupan, Simpul Perwakilan Hindu, Simpul FORPELA, Simpul YOWANA SATYA DHARMA, Simpul PAKIS, Simpul PECALANG, Simpul Aisyiyah dan Simpul Bali Sruti