TABANAN, BERITADEWATA – Desa Jatiluwih, yang terkenal dengan keindahan sawah teraseringnya, memulai panen raya tahunan yang biasanya dimulai setiap bulan Juni. Pada hari Sabtu ini, para petani di Subak Besikalung, Jatiluwih, termasuk masyarakat desa, memulai panen padi dengan cara tradisional menggunakan anggapan (ani-ani).
Pengelola Desa Wisata Jatiluwih, Jhon Purna menerangkan di Desa Jatiluwih, Manyi atau memotong padi merupakan istilah tradisional untuk panen padi. Proses ini dilakukan dengan menggunakan anggapan (ani-ani), sebuah alat tradisional yang telah digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat. “Tradisi ini tidak hanya mempertahankan cara panen yang ramah lingkungan tetapi juga melestarikan budaya agraris yang kaya,” ujarnya Sabtu 08 Juni 2024.

Tidak hanya itu, Jhon Purna juga menjelaskan Desa Jatiluwih menawarkan pengalaman unik bagi para wisatawan. Pengunjung yang datang dapat melihat langsung dan belajar cara “manyi” menggunakan alat tradisional anggapan (ani-ani). “Ini memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk memahami dan merasakan langsung kehidupan petani di Jatiluwih serta menghargai kerja keras mereka,” jelasnya.
Ditambahkanya, Proses “manyi” melibatkan memotong tangkai padi dengan menggunakan anggapan (ani-ani), sebuah metode yang tidak hanya efektif tetapi juga mempertahankan kualitas padi yang dipanen. Masyarakat Jatiluwih percaya bahwa cara tradisional ini membantu menjaga keseimbangan alam dan keberlanjutan pertanian mereka.
“Sebelum panen dimulai, masyarakat petani di Jatiluwih mengadakan upacara “Ngusaba Alit” di Bedugul Tempek masing-masing. Upacara ini adalah bentuk rasa syukur dan doa untuk hasil panen yang melimpah serta keberkahan bagi masyarakat,” imbuhnya.

Setelah panen raya, di bulan Agustus, para petani di Jatiluwih biasanya mulai menanam padi lagi untuk kembali menyemai harapan dan menghasilkan produk-produk pertanian lainnya. Jenis padi yang ditanam termasuk beras putih dengan merek 64 dan beras putih padi Bali yang dikenal dengan nama Mangsur. Selain padi, mereka juga menanam palawija seperti jagung, bawang merah, ketela rambat, dan kacang. Dalam beberapa kasus, padi dan palawija ditanam secara bersamaan untuk memaksimalkan hasil panen.
Petani Jatiluwih, yang sudah bertahun-tahun menggunakan metode ini, berbagi pengalamannya, “Memotong padi dengan anggapan (ani-ani) bukan hanya soal hasil panen, tetapi juga tentang menjaga tradisi leluhur kami. Setiap butir padi yang kami panen dengan cara ini adalah penghormatan kepada alam dan budaya kami.” ungkapnya.
Dengan dimulainya musim panen, Desa Jatiluwih menarik para wisatawan untuk datang dan menikmati keindahan alam sekaligus belajar tentang cara tradisional bertani. “Kami sangat senang berbagi tradisi ini dengan para pengunjung,” tambah petani local Jatiluwih. “Ini adalah kesempatan bagi mereka untuk benar-benar ikut menjaga budaya yang turun menurun dengan kehidupan desa dan memahami pentingnya menjaga warisan budaya kami.”
Panen padi di Desa Jatiluwih bukan hanya kegiatan agraris tetapi juga sebuah perayaan budaya yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. “Dengan tetap mempertahankan metode “manyi” yang tradisional, masyarakat Jatiluwih menunjukkan bahwa kemajuan dan tradisi dapat berjalan beriringan, memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi generasi mendatang,” tutup Jhon Purna.