Penetapan tersangka terhadap mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook memicu perdebatan publik. Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, bahkan menyebut Nadiem sebagai sosok bersih, namun “tidak paham birokrasi dan pemerintahan.”
Lantas, seberapa penting pemahaman birokrasi bagi pejabat publik, terutama seorang menteri?
Integritas Tak Selalu Menyelamatkan
Guru Besar IPDN, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, menilai integritas saja tidak cukup. Seorang pejabat publik harus mampu menjaga diri di tengah sistem birokrasi yang kompleks dan rawan penyimpangan.
“Kalau ada orang bersih masuk ke pemerintahan, tapi tidak punya kemampuan menjaga integritas di tengah sistem yang kotor, maka orang bersih itu bisa larut dan ikut kotor,” ujarnya dalam wawancara dengan Radio Elshinta (10/9).
Menurutnya, Nadiem adalah contoh klasik pebisnis yang terbiasa dengan birokrasi korporasi, lalu terjebak dalam birokrasi pemerintahan yang jauh lebih rigid dan penuh aturan.
Kritik terhadap Pola Pengangkatan Pejabat
Djohermansyah juga menyoroti pola pengangkatan menteri era Presiden Joko Widodo yang dianggapnya kerap mengabaikan prinsip dasar kepemimpinan publik: kompetensi teknis, integritas, akuntabilitas, dan pengalaman birokrasi.
“Praktik pengangkatan pejabat di era Jokowi ini agak gegabah. Sering kali berdasarkan like and dislike, bukan kapasitas teknis dan manajerial,” tegasnya.
Akibatnya, banyak pejabat dari kalangan profesional justru kesulitan beradaptasi dengan birokrasi negara, bahkan tersandung kasus hukum.
Pola Korupsi di Pemerintahan
Menurut Djohermansyah, ada tiga pola utama korupsi di pemerintahan:
- Korupsi birokrasi oleh ASN atau pejabat struktural.
- Korupsi politisi/pejabat negara yang menyalahgunakan kewenangan.
- Kolusi birokrasi dan politisi, yang membuat praktik korupsi makin kuat.
Dalam kasus Nadiem, kata dia, perlu dilihat apakah masalahnya murni dari birokrasi, atau ada aktor politik lain yang ikut bermain.
Tanda Tangan Bisa Jadi “Beracun”
Banyak pejabat terseret kasus korupsi hanya karena tanda tangan mereka tercantum dalam dokumen bermasalah, meski tidak menikmati aliran dana.
“Tanda tangan bisa jadi beracun,” kata Djohermansyah, seraya menyinggung kasus serupa yang pernah menjerat eks Kepala BKPM Thomas Lembong.
Menteri Butuh Sense of Bureaucracy
Seorang menteri, lanjut Djohermansyah, memimpin ribuan ASN dengan struktur besar dan kompleks. Tanpa pemahaman birokrasi, niat baik bisa berubah jadi bumerang.
“Kalau tidak tahu sistemnya, dan hanya asal perintah, maka bisa celaka,” tegasnya.
Ia mencontohkan Jepang, di mana banyak menteri berasal dari birokrat karier sehingga punya “sense of bureaucracy” yang kuat.
Catatan untuk KPK dan Reformasi Birokrasi
Djohermansyah juga mengkritik KPK yang dinilai terlalu fokus pada penindakan, bukan pencegahan. Menurutnya, reformasi birokrasi, pendidikan antikorupsi, dan pembenahan sistem pengadaan harus jadi prioritas.
Penurunan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia beberapa tahun terakhir, katanya, menunjukkan bahwa reformasi masih jauh dari berhasil.
“Kasus Nadiem jadi peringatan bahwa integritas saja tidak cukup. Pejabat negara butuh pengetahuan birokrasi, pengalaman institusional, dan kemampuan manajerial agar tidak terjerat jebakan sistem,” tutupnya.

























































