LSPR Kukuhkan Guru Besar, Tantang Dunia Politik Bangun Etika Baru

LSPR Institute of Communication and Business (LSPR Institute) resmi mengukuhkan Prof. Dr. Lely Arrianie, M.Si sebagai Guru Besar dalam bidang Komunikasi,

JAKARTA, BERITA DEWATA – LSPR Institute of Communication and Business (LSPR Institute) resmi mengukuhkan Prof. Dr. Lely Arrianie, M.Si sebagai Guru Besar dalam bidang Komunikasi, khususnya Komunikasi Politik.

Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Komunikasi Politik Tanpa Model: Tantangan Menemukan Model Komunikasi Politik Khas Indonesia Menuju 2045”, Prof. Lely menyoroti pentingnya merumuskan model komunikasi politik yang khas Indonesia di tengah tantangan era digital dan demokrasi modern.

Acara pengukuhan berlangsung khidmat di Auditorium LSPR Jakarta dan dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional seperti Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, SPt., M.Pd., Gubernur Lemhannas RI Dr. H. TB. Ace Hasan Syadzily, M.Si., Gubernur Dr. Pramono Anung Wibowo, M.Si., serta 43 Guru Besar dan Dosen S3 dari berbagai institusi.

Founder & CEO LSPR Institute, Dr. (H.C) Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APR, FIPR membuka acara dengan menyatakan bahwa pengukuhan Guru Besar tidak hanya penting bagi dunia pendidikan, tetapi juga bagi peradaban demokratis. “Saat ini, kita menghadapi disinformasi, krisis kepercayaan, dan budaya viral yang sering mengorbankan nilai-nilai substansial. Karena itu, etika dalam komunikasi politik menjadi sangat mendesak,” ujarnya.

Rektor LSPR Institute, Dr. Andre Ikhsano, M.Si., menambahkan bahwa pengukuhan ini menegaskan posisi LSPR sebagai institusi yang serius dalam kontribusi akademik. “Orasi Prof. Lely menjadi refleksi akan kebutuhan mendesak akan gaya, pola, dan model komunikasi politik yang mencerminkan identitas bangsa.”

Dalam orasinya, Prof. Lely menekankan bahwa hingga kini Indonesia belum memiliki model komunikasi politik yang baku. “Yang kita miliki saat ini lebih banyak berupa gaya dan pola komunikasi individu politisi, bukan model yang sistemik dan bisa dijadikan rujukan,” jelasnya.

Ia menggambarkan bagaimana komunikasi politik Indonesia telah bergeser sejak era Orde Baru yang seragam dan santun, menuju era yang lebih bebas namun sering kali mengabaikan etika dan budaya. Dengan menggunakan teori dramaturgi Erving Goffman, Lely membedah panggung politik Indonesia sebagai ‘pertunjukan’ yang kerap membingungkan publik—antara front stage (penampilan ideal) dan back stage (realitas yang sebenarnya).

“Tanpa model yang jelas, komunikasi politik kita jadi seperti panggung hiburan—lebih banyak drama daripada substansi. Bahkan sering kali disamakan dengan stand-up comedy,” ujar Prof. Lely tajam.

Ia juga menyoroti bahwa komunikasi politik yang ideal bukan hanya soal menyampaikan pesan, tapi bagaimana aktor politik mampu membangun dialog yang transaksional, etis, dan bertanggung jawab. “Kepemimpinan politik harus menjadi motor perubahan, bukan hanya pencitraan.”

Prof. Lely tetap optimis bahwa Indonesia sedang bergerak ke arah pembentukan model komunikasi politik yang lebih bermartabat dan kontekstual. “Model itu belum ada, tapi proses menuju ke sana sedang berlangsung. Dan ketika model itu terbentuk, kita akan memiliki fondasi komunikasi politik yang lebih kuat, adil, dan berbudaya.”

 

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here