DENPASAR, BERITA DEWATA – Gubernur Bali Wayan Koster mengajukan dua rancangan peraturan daerah (raperda) sekaligus menyampaikan pendapat terhadap Raperda Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam Rapat Paripurna ke-15 Masa Sidang I Tahun 2025–2026, Senin (1/12).
Dalam rapat tersebut, Koster membawa dua raperda baru, yaitu Raperda Pengendalian Alih Fungsi Lahan Produktif dan Larangan Alih Kepemilikan Lahan secara Nominee, dan Raperda Pengendalian Toko Modern Berjejaring.
Koster menjelaskan bahwa penyusunan Raperda Pengendalian Alih Fungsi Lahan dilakukan karena lahan produktif di Bali semakin tergerus pembangunan perumahan, industri, hingga sektor komersial.
“Jika tidak dikendalikan, ini bisa mengancam kedaulatan pangan, ruang produksi pertanian, dan keberadaan subak,” ujarnya.
Ia juga menyinggung praktik alih kepemilikan lahan secara nominee, yaitu penggunaan nama pihak lain untuk menghindari aturan. Menurutnya, praktik ini melemahkan kedaulatan agraria dan membuka peluang spekulasi serta monopoli.
“Pemerintah daerah perlu regulasi yang tegas dan adaptif terhadap tantangan zaman,” tegas Koster.
Terkait Raperda Pengendalian Toko Modern Berjejaring, Koster menyebut pertumbuhan toko modern, pusat perbelanjaan, dan mall meningkat pesat seiring berkembangnya pariwisata dan ekonomi Bali.
Di tengah pertumbuhan itu, UMKM dan pasar tradisional dinilai rentan tersingkir.
“Kalau tidak dikendalikan, perkembangan ini dapat mempengaruhi sendi perekonomian yang disokong usaha mikro, kecil, dan menengah,” katanya.
Menurut Koster, UMKM tidak mungkin bersaing dengan usaha besar yang memiliki modal kuat serta akses perbankan luas. Pemerintah perlu hadir untuk menjaga keseimbangan dan menciptakan iklim usaha yang adil.
“Raperda ini penting karena sektor informal jauh lebih besar daya serap tenaga kerjanya,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Koster menyampaikan pendapat terhadap Raperda Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Ia menegaskan pentingnya regulasi baru karena Perda tahun 2015 disusun sebelum lahirnya UU Nomor 8 Tahun 2016, sehingga perlu penyesuaian.
“Ini bentuk komitmen kita membangun Bali yang inklusif dan berkeadilan. Pemerintah harus memastikan penyandang disabilitas terlindungi dari penelantaran, diskriminasi, dan eksploitasi,” ujar Koster.
Ia menilai raperda ini mendesak karena persoalan disabilitas di Bali semakin kompleks, sehingga dibutuhkan instrumen hukum yang memastikan prinsip inklusi diterapkan dalam seluruh pelayanan publik, pembangunan, dan urusan pemerintahan.

