JAKARTA, BERTA DEWATA – Politisi senior Partai Golkar Rully Chairul Azwar menilai mantan Presiden Soeharto layak diberi gelar Pahlawan Nasional. Menurutnya, jasa Soeharto dalam membangun Indonesia sangat besar dan masih dirasakan hingga kini, meski masa pemerintahannya kerap diselimuti kontroversi.
“Soeharto bukan dewa, tapi jasanya fundamental bagi bangsa ini,” kata Rully saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Mantan Wakil Ketua Komisi X DPR RI dan eks Wakil Sekjen FKP MPR RI itu menilai Soeharto telah membawa perubahan besar dengan memfokuskan arah pembangunan pada sektor ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
“Kalau Bung Karno berfokus pada ideologi dan politik luar negeri, Soeharto berani melakukan switch besar. Ia mengubah arah ke pembangunan yang realistis,” ujarnya.
Menurut Rully, Soeharto memahami bahwa cita-cita masyarakat adil dan makmur hanya bisa dicapai melalui pembangunan ekonomi nyata. “Beliau sangat realistis. Karena itulah disebut Bapak Pembangunan,” katanya.
Rully menegaskan, fondasi ekonomi era Orde Baru masih menjadi pijakan pembangunan nasional hingga saat ini. Ia menyebut tiga prinsip utama yang diwariskan Soeharto — pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas — masih relevan.

“Negara seperti Singapura dan Malaysia mengakui kepemimpinannya. Mahathir dan Lee Kuan Yew menyebut Soeharto sebagai guru dalam pembangunan,” ungkapnya.
Meski krisis 1998 menandai berakhirnya Orde Baru, Rully menilai kejatuhan ekonomi Indonesia saat itu bukan karena kegagalan kebijakan, melainkan dampak euforia politik reformasi dan tekanan ekonomi global. “Setelah 1998 kita terlalu sibuk dengan politik. Padahal fondasi ekonomi beliau masih kokoh,” katanya.
Menurut Rully, Soeharto juga dikenal dekat dengan rakyat kecil karena latar belakangnya sebagai anak petani. Kecintaannya terhadap pertanian diwujudkan melalui keberhasilan swasembada pangan dan program Repelita yang fokus pada sektor pertanian. “Beliau bahkan menjadikan Tapos sebagai laboratorium pertanian,” tuturnya.
Rully juga menyoroti pencapaian Soeharto di bidang teknologi dan pendidikan. Melalui BJ Habibie, Indonesia berhasil membuat pesawat terbang dan mengirim ribuan mahasiswa ke luar negeri lewat BPPT. “Itu bukti visi jangka panjang Soeharto,” ujarnya.
Terkait alasan belum diberikannya gelar Pahlawan Nasional, Rully menyebut faktor politik pascareformasi sebagai penyebab utama. “Setelah 1998 muncul TAP MPR yang mengaitkan beliau dengan KKN. Tapi sekarang TAP itu sudah tidak relevan, dan tidak ada lagi kendala hukum,” ucapnya.
Ia menilai tuduhan korupsi terhadap Soeharto tidak sepenuhnya objektif. “KKN bukan dosa Soeharto semata. Hari ini pun praktik korupsi masih marak. Krisis 1998 juga bukan karena korupsi, tapi karena permainan ekonomi global,” tegasnya.
Rully menyebut reformasi 1998 sarat emosi politik. “Banyak yang sakit hati pada Orde Baru. Saat itu keputusan diambil dalam kemarahan, sehingga semua peninggalan Soeharto dihapus,” katanya.
Ia juga menepis tudingan nepotisme. Menurutnya, pengangkatan keluarga Soeharto di pemerintahan masih dalam kerangka meritokrasi. “Kalau punya kapasitas dan integritas, itu bukan nepotisme. Tutut baru jadi menteri pada 1998, hanya tiga bulan,” jelasnya.
Rully membandingkan kabinet era Soeharto yang disebutnya meritokratis dengan kondisi sekarang. “Kabinet dulu diisi orang-orang terbaik seperti Emil Salim dan Radius Prawiro. Sekarang, kabinet banyak ditentukan oleh koalisi partai,” ujarnya.
Ia mengkritik demokrasi pascareformasi yang menurutnya terlalu liberal dan dikuasai uang. “Politik sekarang dikuasai oligarki. Demokrasi tanpa moral jadi ajang pertarungan bebas,” kata Rully.
Rully menutup dengan pernyataan reflektif. “Soeharto tidak sempurna, tapi jasanya tak tergantikan. Ia telah meletakkan landasan kuat bagi ekonomi, pemerintahan, dan pembangunan manusia Indonesia. Sudah sewajarnya beliau diberi gelar Pahlawan Nasional,” pungkasnya.