Prof. Dr. Djohermansyah Djohan :  Butuhnya Penguatan Lembaga Kepresidenan

Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), mantan Dirjen Otonomi  Daerah Kemendagri  di tahun 2010-2014

JAKARTA, Berita Dewata – Dalam bernegara tentu ada hal mendasar yang perlu di perhatikan aturan mainnya. Tanpa aturan yang jelas negara akan tidak jelas arah dan tujuannya. Pertimbangkan juga, bagaimana aturan (Rule of the game) adalah inti dari sebuah permainan, dan teka-teki – bahkan ketika seluruh tujuan kegiatan itu seharusnya adalah membuat kita bahagia serta dapat merasakan kehadiran aturan yang sesuai dan tidak  menekan, baik tertulis maupun tidak tertulis – ini sebenarnya aturan hidup. Bisa kita bayangkan hidup di sebuah negara  tanpa aturan yang jelas.

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) , Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA mantan Dirjen Otonomi  Daerah Kemendagri  di tahun 2010-2014, memberi paparan pada obrolan santai via telepon seluler mengenai aturan pemerintahan yang secara prinsip perlu di perbaiki kedepannya (16/11/2021).

Menurut, Djohermansyah Djohan beberapa institusi negara terlihat lemah terutama institusi kepresidenan karena besarnya pengaruh partai penguasa yang menimbulkan kesan bak shadow government dalam kekuasaan presiden menjalankan pemerintahannya.

Di Amerika serikat lembaga kepresidenan sudah terinstitusionalisasi, dimana partai hanya menjadi kendaraan saja untuk memperoleh tampuk kekuasaan, namun dalam penyelenggaraan negara partai pemenang tidak bisa ikut menitipkan program kerja yang akan dilaksanakan oleh presiden. Karena apa ?

Karena ada lembaga yang mengatur secara khusus fungsi presiden dalam menjalankan kebijakannya, dan partai pemenang hanya mendukung pelaksanaan program kerja  tersebut tanpa ikut menitipkan program kerja dan kebijakan partai.

“ Di Amerika tentu sangat berbeda dengan di Indonesia. Sebagai partai pemenang pemilu tentu saja ada usaha untuk memberi masukan pada presiden terpilih, namun disana punya undang undang yang dipakai untuk melobi pemimpin terpilih dan dilakukan secara tertutup. Disitulah lembaga kepresiden terlihat menjadi sangat kuat,” papar Djohermansyah Djohan.

Otoritas kepala negara dalam menerapkan kebijakan sangat terbuka, bila ada fund rising yang mendukung program kerja, pemodal pun diumumkan secara jelas agar publik mengetahui  arah kebijakan presiden dalam melaksanakan program kerja pemerintahannya. “ Ini pula yang menguatkan program presiden, agar tidak didikte cukong atau partai penguasa,” ucap Djohermansyah Djohan.

Fenomena Otonomi Daerah

Terkait masalah otonomi daerah yang diberlakukan sejak era reformasi dengan tujuan agar daerah mampu mengelola sendiri berbagai aspek kehidupannya dengan memberikan wewenang penuh pada beberapa hal seperti melaksanakan pemilihan kepala daerahnya, mengatur secara khusus potensi lokal baik potensi alam, budaya, dan berbagai macam aturan yang dibuat secara khusus oleh daerah mengacu pada kebijakan uu yang di sosialisasikan pemerintah pusat, agar keberhasilan didaerah dapat lebih cepat tercapai dari berbagai sektor.

Pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia tentu berbeda dengan negara federal di Amerika Serikat tentunya, walau awal masa keruntuhan rezim orba Amien Raiz ingin mewacanakan Indonesia menjadi negara federal, dimana sistem sentralisasi berpindah pada konsep desentralisasi .

Menurut Djohermansyah, Otonomi daerah di Indonesia berprinsip pada negara kesatuan yang dianut Indonesia.” Di Indonesia, pusat sangat menentukan seberapa besar dan seberapa banyak daerah diberikan UU otonomi daerah. Bila pusat ingin memberi kewenangan atau menarik kewenangan, maka daerah tak bisa berbuat banyak,” papar Djohermansyah.

Di Indonesia, ada fenomena menarik terkait otonomi daerah saat awal diberlakukan. Konsep awal otonomi daerah “Bigbang of Indonesian Desentralization” dengan UU No 22 tahun 1999, menurut Djohermansyah ini membuat daerah kedodoran dan tidak siap. “Daerah yang baru saja menggunakan konsep sentralisasi langsung menggunakan uu desentralisasi inilah yang menjadi masalah didaerah. Tentu mereka tidak siap melaksanakan aturan yang cukup absolut didaerahnya,” ungkap Djohermansyah.

Kemudian pemerintah lima tahun setelah pemberlakuan UU No 22/99 di benahi kembali dan terciptalah UU No 34 tahun 2004 untuk mengatur otonomi daerah. UU No 34 tahun 2004 ini menata kembali UU sebelumnya yang mengacu pada kewewenangan negara federal agar daerah dapat melaksanakan aturan dengan baik sesuai prinsip prinsip negara kesatuan yang dimiliki Indonesia.

Indonesia adalah negara kesatuan dimana tidak boleh ada negara didalam negara, hal ini yang diucapkan para founding fathers seperti Bung Karno,Moh Hatta, Mohamad Yamin, dan lain lainnya dalam percakapan mereka di forum rapat BPUPKI (BadanPenyelidik  Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dalam mempersiapkan lahirnya bangsa Indonesia. “ Pemikiran inilah yang menginspirasi penerapan otonomi daerah, dimana daerah menjalankan otonomi,namun pusat juga harus menjalankan kebijakannya dalam usaha memakmurkan rakyatnya,”papar Djohermansyah.

Pelaksanaan otonomi daerah tentunya banyak distorsi dilapangan, karena banyaknya implementasi dilapangan yang tidak sejalan dengan tujuan. Pengangkatan kepala daerah dengan sistem pilkada  yang di wakili oleh partai yang berpengaruh didaerah justru dimanfaatkan para cukong dalam proses kepemenangan kepala daerah. Akibatnya struktur kendali pemerintahan daerah menjadi banyak kendala karena adanya kepentingan para cukong didaerah. “Disinilah terjadi banyak distorsi akibat kepentingan pemodal (cukong) bermain, akibatnya tujuan pemerataan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat didaerah sering tidak berjalan baik. Tidak sedikit pula akhirnya kepala daerah bermasalah dan ditangkap karena tindak korupsi,” ungkap Djo.

Indonesia Perlu UU Tentang Kepresidenan

Kepemimpinan presiden secara spesifik disebut dengan kepemimpinan chief of executive, sebagai kepala pemerintahan yang menjalankan roda pemerintahan. Kemudian presiden juga disebut chief of commander atau panglima tertinggi militer. Dia yang memimpin angkatan darat, laut dan udara, bahkan memutuskan perang. Presiden juga memainkan peranan sebagai penguat partai (the party’s role).

Sebagai seorang chief of commander, sudah seharusnya presiden memiliki institusi kelembagaan yang kuat serta memiliki wawasan yang baik dalam menjalankan rule of democracy, agar demokrasi tercipta baik di daerah maupun pusat dalam pemerintahannya.

Presiden bisa mengambil keputusan cepat dan bijak atas aspirasi masyarakat luas yang berkembang tiap saat. Begitupula struktur organisasi penasihat presiden (wantimpres), perlu dipertimbangkan kompetensi dan kemampuannya, agar pemerintahan yang ada dengan segala program dan kebijakannya menjadi lebih terukur dan transparan.”Presiden idealnya  bebas dari tekanan manapun, baik partai penguasa maupun cukong, agar apa yang diputuskan dalam sebuah kebijakan adalah murni pemikirannya sendiri,” ucap Djo.

Sejogyanya partai  pengusung hanya dijadikan kendaraan  dalam meraih  kekuasaan sebagai kepala negara, itu sebab presiden disebut sebagai penguat partai, karena dia maju melalui pintu partai. Mungkin dia bukan ketum partai, bisa saja sebagai pekerja partai atau orang biasa. Karena tanpa kendaraan partai dia tidak bisa menjadi presiden.

Lebih lanjut Prof Djo menerangkan, kepala pemerintahan itu kita bisa lihat dari leadershipnya. Secara sederhana ada dua hal, satu  kapasitasnya di dalam membuat formulasi, merumuskan, menyusun dan memutuskan kebijakan-kebijakan.

“Itu ukurannya, apakah dia membuat kebijakan, merumuskan kebijakan dan memutuskan kebijakan secara alone (sendiri) atau dia di-guiding dari luar. Itu namanya dia dikendalikan oleh orang di luar pemerintahan, misalnya yang menjadikan dia sebagai kepala pemerintahan. Biasanya disebut king maker,”ucapnya.

“Apakah kebijakan itu dibuat oleh presiden sendiri, atau dia lebih banyak menerima dari orang di luar kekuasaan. Itu biasanya disebut king atau queen maker. Kedua, bagaimana dia mengeksekusi,  menjalankan kebijakan. Apakah sesuai dengan yang dibutuhkan orang banyak atau dia membuat kebijakan itu berdasarkan kebutuhan golongan kecil elit yang ada disekitarnya,” papar Djo.

Menurutnya, ini menjadi ukuran bagaimana kinerja presiden itu dalam memimpin pemerintahan. Makanya, dia menjadi chief of executive. Kalau kita lihat Presiden sebagai kepala pemerintahan di dalam sistem demokrasi, dia harus punya power yang legitimate, biasanya lewat pemiliham umum. Maka, presiden memiliki kekuasaan yang terbatas, memiliki jangka waktu tertentu dalam berkuasa. Bila tidak ada pembatasan, mudah timbul penyalah gunaan wewenang tentunya.

Presiden harus memahami tentang dunia kemiliteran, dan politik luar negeri. Sebagai panglima tertinggi tidak hanya perang dalam dunia militer, tapi juga perang menghadapi wabah pandemi seperti saat ini. Tugas presiden lainnya yang penting menjaga penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah yang sehat. “Dia harus faham sebagai kepala  eksekutif, merawat otonomi daerah, jangan sampai kebablasan,” ujar Djohermansyah.

Itu sebab presiden harus punya team advisor yang kuat dan kompeten dalam mengatasi berbagai persoalan negara yang dia tidak pahami, agar jalannya roda pemerintahan dapat terkendali dan berjalan baik. “Team advisor atau Wantimpres harusnya dipilih orang orang yang handal dan benar benar profesional dibidangnya, agar menjadi second opinion presiden dalam mengawasi kinerja kerja para menteri-menterinya,” ungkap Djohermansyah .

Wantimpres sebagai penasihat presiden tentulah dipilih dari mereka yang punya kompetensi, bukan sekedar comot apalagi titipan dari king maker atau cukong belaka, agar power penasihat juga bisa dirasakan bagi kepentingan rakyat banyak dalam menentukan kebijakan yang akan diputuskan presiden.

“ Saat ini penasihat presiden seperti kurang power dan bergigi serta tak tampak  fungsinya secara langsung dalam membantu presiden.Wantimpres tempat kumpulnya orang yang dekat presiden saja, tapi tidak clear kompetensinya,” ujar Djohermansyah melihat kinerja kerja wantimpres.

Atas pemikiran pemikiran itu Prof Djohermansyah Djohan MA, telah lama mewacanakan perlunya dibuat UU tentang kepresidenan secara rinci detail dan proporsional agar apa yang dilakukan presiden sebagai chief executive of state lebih berwibawa dan terukur.

Adalah hal yang tidak proporsional bila seorang kepala daerah memiliki ratusan UU sebagai pelaksana kewenangan kegiatan daerah , sementara UU yang mengatur akan kegiatan kepala negara atau presiden hanya 15. “ UU untuk seorang kepala daerah begitu banyak UU, Kok presiden hanya memiliki 15 pasal yang mengatur kewengannya. Padahal mengurus sebuah negara lebih kompleks ketimbang mengurus sebuah daerah. UU presiden sangat sumir dan terbatas,” ucap Djo.

UU kepresidenan harus detail dan rinci agar bila terjadi konflik semisal antara presiden dan relasinya seperti DPR, maka presiden menjadi kuat didukung UU tersebut. “Bila terjadi konflik antara presiden dan DPR maka target undang-undang tidak tercapai. Banyak kasus dari seratus undang-undang yang direncanakan, tapi yang disahkan hanya sedikit. Sehingga menjadikan presiden tampak lemah,” ujarnya.

Kemudian, lanjutnya, penguatan tugas wakil presiden agar memiliki tugas dan fungsi yang jelas. Misalnya, dia menangani bidang tertentu, menjadi penghubung antara pemerintah dan legislatif. Kalau ada persoalan undang-undang yang macet, presiden tinggal memberi tahu wapres untuk melobi. Kita belum ada aturan seperti itu.

“Yang lebih penting adalah penguatan komunikasi politik presiden. Sebagai seorang manusia ada yang jago ngomong ada juga tidak jago ngomong. Kalau jago ngomong tidak masalah, kalau presiden tidak jago ngomong perlu juru bicara yang bagus, dan berkualitas supaya rakyat simpati dengan kebijakan pemerintah,” paparnya.

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here