
DENPASAR, BERITA DEWATA – Sebanyak 10 pengusaha kecil dan menengah di Bali yang tergabung dalam Komunitas Masyarakat Tanpa Angsuran (KMTA) Bali melaporkan dugaan penipuan dan pemerasan oleh sekelompok orang yang mengaku staf dari Panitera Mahkamah Agung (MA) di Jakarta. Para korban mengaku diminta sejumlah uang dengan dalih “mahar perkara” agar bisa memenangkan gugatan di tingkat kasasi.
Laporan tersebut dibuat di Polda Bali, Rabu (22/10/2025) sore, dengan nomor registrasi STPL/2064/X/2025/SPKT/Polda Bali. Para korban mengalami kerugian bervariasi, mulai dari Rp5 juta hingga Rp450 juta per orang. Mereka dijanjikan putusan kasasi yang menguntungkan, namun hingga kini janji itu tak pernah terbukti.
Ketua KMTA Bali, Ikhsan Nasir, menjelaskan kasus ini bermula dari sengketa kredit macet yang dialami para anggota sejak masa pandemi Covid-19. Sejumlah anggota yang perkaranya telah memasuki tahap kasasi dihubungi oleh orang tidak dikenal yang mengaku staf panitera MA. Para pelaku menggunakan berbagai identitas seperti Andri Purwanto, Erni Roza, Fero, Syahrul, Pahmi, Fero Alpha, dan Yoda Diagah.
“Pelaku menghubungi lewat telepon dan WhatsApp. Mereka bahkan mengirim kartu identitas berlogo MA dan surat elektronik berkepala surat resmi supaya kami percaya,” kata Ikhsan. Menurutnya, para pelaku selalu berdalih menjalankan perintah majelis hakim agar korban mau membayar sejumlah uang sebagai syarat menang perkara.
Ikhsan menambahkan, para pelaku mengetahui secara detail tahapan hukum yang sedang dijalani para korban, mulai dari jadwal sidang hingga proses pengiriman berkas ke pengadilan. Hal itu membuat para korban yakin dan akhirnya mentransfer uang ke rekening yang diberikan. “Kalau ini cuma penipu biasa, tidak mungkin tahu data selengkap itu. Kami menduga kuat ada keterlibatan oknum dari dalam,” ujarnya.
Sebelum melapor ke polisi, para korban sempat mengadukan kasus ini ke Mahkamah Agung melalui Garda Tipikor di Jakarta pada 15 September 2025. Namun hingga kini belum ada tanggapan. “Kami khawatir kasus serupa menimpa masyarakat lain, karena ini seperti jaringan yang sistematis,” tambah Ikhsan.
Salah satu korban, Rahman Holidi, warga Jembrana, mengaku kehilangan uang Rp55 juta setelah mentransfer ke tiga rekening berbeda, masing-masing atas nama Yodha Dihaga, Arif Widodo, dan Erni Roza. “Mereka meyakinkan saya kalau perkara bisa menang asal segera kirim uang. Setelah uang ditransfer, mereka hilang kontak,” kata Rahman.
Korban lain, I Gusti Ngurah Manik Maya (55), mengaku telah mengirim uang hingga Rp450 juta dalam 42 kali transaksi. Ia dijanjikan utangnya akan dikurangi setengah setelah perkaranya dimenangkan di MA. “Awalnya saya transfer Rp160 juta. Lalu terus diminta lagi dengan alasan tambahan biaya koordinasi. Totalnya hampir Rp400 juta,” ujarnya.
Kasus ini kini tengah diselidiki oleh Polda Bali untuk menelusuri siapa sebenarnya pelaku di balik jaringan yang mengatasnamakan Mahkamah Agung tersebut. Usai laporan dibuat, beberapa korban bahkan masih menerima telepon dari pelaku. Salah satu korban, Hendra, sempat meladeni percakapan dengan seseorang yang menyebut diri sebagai Arif Widodo. Dalam percakapan yang direkam awak media, pelaku sempat menurunkan permintaan uang dari Rp135 juta menjadi Rp100 juta, dengan syarat bukti transfer hanya boleh diperlihatkan lewat video call.
Ikhsan berharap penyelidikan aparat kepolisian bisa mengungkap tuntas kasus ini dan menelusuri dugaan keterlibatan pihak internal lembaga peradilan. “Kami percaya aparat bisa menindak tegas jaringan seperti ini agar tidak ada lagi masyarakat kecil yang jadi korban,” katanya.