Presiden Prabowo Subianto berencana membentuk dua badan baru dengan mandat strategis. Pertama, Badan Industri Mineral (BIM) yang fokus pada industrialisasi dan tata kelola mineral strategis nasional. Kedua, Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa, yang berperan mengatur tata ruang, pengelolaan, dan pengembangan kawasan pesisir utara Pulau Jawa.
Langkah ini langsung menuai perhatian publik. Guru Besar IPDN sekaligus pakar birokrasi pemerintahan dan otonomi daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, menilai kebijakan ini ibarat dua sisi mata uang: bisa menjadi terobosan, tetapi juga menyimpan potensi masalah serius.
Tumpang Tindih Kewenangan
Pembentukan badan baru pasti akan bersinggungan dengan lembaga yang selama ini menangani isu serupa. BIM, misalnya, berpotensi mengambil alih peran Kementerian ESDM terkait pengelolaan mineral.
Sementara itu, Badan Otorita Pantura jelas akan beririsan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta pemerintah daerah di sepanjang pesisir Jawa. Pertanyaannya, apakah lembaga-lembaga ini rela melepas kewenangan?
“Dalam praktik birokrasi, sering kali terjadi resistensi. Kewenangan ditahan, digandoli, atau bahkan ditolak dilepas. Ini bisa membuat lembaga baru justru tidak efektif,” kata Prof. Djohermansyah saat dihubungi, Kamis (28/8).
Efisiensi vs Biaya Baru
Di atas kertas, pembentukan badan baru diharapkan menciptakan efisiensi. Namun realitasnya, setiap lembaga baru berarti tambahan biaya: kantor, fasilitas, staf, pejabat, hingga anggaran operasional.
Padahal, APBN tengah menghadapi tekanan berat dengan beban utang yang besar. “Kalau tujuannya efisiensi, logikanya bisa dipertanyakan. Overhead cost justru bertambah,” jelasnya.
Kritik serupa pernah muncul ketika pemerintah menggulirkan wacana pembentukan Kementerian Haji dan Umrah. Alih-alih memperbaiki pelayanan, kebijakan itu justru dianggap hanya memindahkan masalah lama ke wadah baru dengan birokrasi yang lebih gemuk.
Antara Ambisi dan Kebutuhan Rakyat
Pemerintah beralasan dua badan baru ini menjawab kebutuhan strategis. BIM diarahkan memperkuat hilirisasi mineral berbasis riset dan pengembangan. Bahkan Menteri Ristek disebut akan menjadi figur kunci.
Badan Otorita Pantura dibentuk karena pengelolaan kawasan pesisir selama ini dianggap kurang efektif. Pemerintah pusat ingin menghadirkan otoritas tunggal yang mengatur tata ruang, investasi, hingga infrastruktur di kawasan tersebut.
Namun pertanyaan krusial tetap ada: apakah ini kebutuhan mendesak masyarakat pesisir, atau sekadar ambisi pusat membangun proyek besar? Bagi warga pesisir, masalah nyata adalah ekonomi sehari-hari, usaha perikanan, dan peningkatan pendapatan—bukan sekadar hadirnya sebuah badan baru.
Dua Tantangan Utama
Menurut Prof. Djohermansyah, pemerintah harus menjawab dua tantangan mendasar:
Kesiapan birokrasi – Apakah kementerian dan lembaga eksisting mau menyerahkan kewenangannya secara ikhlas?
Kapasitas fiskal – Apakah APBN mampu menanggung biaya tambahan tanpa menabrak logika efisiensi?
Tanpa jawaban tegas, risiko yang muncul justru badan baru akan menambah beban, bukan menghadirkan solusi.
Catatan Akhir
Pemerintah baru tentu ingin menampilkan gebrakan lewat pembentukan lembaga-lembaga baru. Namun, keberadaan BIM dan Badan Otorita Pantura harus benar-benar memberi manfaat konkret bagi rakyat, bukan sekadar menambah struktur birokrasi.
Jika tidak hati-hati, langkah ini bisa berubah menjadi jebakan birokrasi: organisasi bertambah gemuk, biaya meningkat, tetapi pelayanan publik tetap stagnan.