Begawan Otonomi Daerah: Ketika Bangsa Butuh Suara Kebenaran

Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, guru besar IPDN dan mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri

Bangsa ini tengah menghadapi turbulensi: politik yang makin transaksional, kebijakan elitis, dan partisipasi publik yang kian dangkal. Dalam kondisi itu, suara jernih dan independen makin langka. Namun, masih ada sosok yang konsisten berdiri di jalur integritas: Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, guru besar IPDN dan mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri.

Pandangan dan kritiknya kerap menjadi kompas moral di tengah arah kebijakan yang sering menjauh dari semangat konstitusi dan keadilan sosial.

Dari Ranah Minang ke Panggung Nasional

Lahir di Padang, 21 Desember 1954, Prof. Djo tumbuh dalam kultur Minangkabau yang menekankan adat, pendidikan, dan integritas. Kariernya dimulai sebagai Kepala Seksi Perekonomian Desa di Padangpanjang (1978), lalu meniti jalan panjang birokrasi hingga menjabat Dirjen Otonomi Daerah (2010–2014).

Lebih dari 47 tahun ia mengabdi sebagai ASN. Baginya, otonomi daerah bukan sekadar desentralisasi administratif, tapi instrumen distribusi keadilan dan pemberdayaan masyarakat.

“Saya setia pada kebenaran. Kalau pemerintah benar, saya respek. Kalau tak benar, saya kritisi. Sayangnya, yang tidak benar lebih banyak,” ujarnya tegas di Jakarta, 11 Agustus 2025.

Kritik yang Bernuansa Cinta Tanah Air

Bagi Prof. Djo, kritik bukanlah cara mencari popularitas. Ia menyampaikannya dengan bahasa halus, tetapi tajam. Layaknya seorang ayah yang menasihati anak: hangat, namun penuh substansi.

Sebagai pakar pemerintahan dan otonomi daerah, ia sering hadir di layar televisi, ruang kuliah, hingga forum kepala daerah. Pesannya konsisten: kebijakan harus berpihak pada rakyat dan berlandaskan konstitusi, bukan kepentingan kekuasaan.

Membangun Daerah dengan Filsafat Otonomi

Melalui Institut Otonomi Daerah (I-Otda) yang ia dirikan, Prof. Djo bersama para pakar merumuskan gagasan strategis untuk memperkuat tata kelola pemerintahan daerah. Lembaga ini menjadi ruang edukasi kebijakan sekaligus advokasi publik.

Ia selalu menekankan, otonomi bukan jalan pintas untuk memerdekakan pejabat dari pengawasan pusat, melainkan memperbesar tanggung jawab mereka melayani rakyat.

Keteladanan dalam Kehidupan Pribadi

Di luar panggung publik, Prof. Djo adalah sosok sederhana. Ia banyak mengisi hari dengan keluarga dan ibadah. Istrinya, Yannidiarti, setia mendampingi perjalanan panjangnya. Dari pernikahan mereka lahir dua anak dan empat cucu.

Anak sulungnya, seorang ASN di Kemendagri, tetap bertugas di eselon IV meski beberapa kali diproses naik jabatan. Prof. Djo tak pernah “mengurus” kenaikan itu.

“Saya mendidik anak saya seperti mahasiswa: jujur, kerja keras, sabar. Kalau tidak naik, bukan takdir. Tapi pelajaran,” katanya.

Pendidikan dan Jejak Karier

  • APDN Bukittinggi (1977)
  • Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta – Lulusan terbaik Angkatan X (1984), penerima penghargaan Sarjana Adhi Praja Nugraha
  • University of Hawaii – Pascasarjana
  • Universitas Padjadjaran Bandung – Doktor Ilmu Pemerintahan (2004)

Jejak birokrasi dan akademiknya panjang: dari pejabat daerah di Sumatera Barat, dosen, media adviser KPU (2003), hingga Dirjen Otda (2010–2014). Pada 2013, ia sempat dipercaya sebagai Plt Gubernur Riau melalui Keppres.

Warisan Pemikiran dan Pengaruh

Sebagai akademisi, Prof. Djo aktif menulis di media massa dan jurnal akademik. Ia juga meluncurkan dua buku baru tentang otonomi daerah yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada Januari 2025.

Institut Otonomi Daerah (I-Otda) yang ia dirikan diresmikan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 26 April 2016, menjadi wadah strategis untuk advokasi kebijakan desentralisasi dan demokrasi lokal.

Penghargaan yang pernah ia raih antara lain:

  • Sarjana Adhi Praja Nugraha – Mendagri (1984)
  • Bintang Jasa Utama – Presiden RI (1999)
  • Satyalancana Karya Satya 20 & 30 Tahun (1999)

Penjaga Nurani Negara

Di tengah pragmatisme politik dan melemahnya integritas birokrasi, suara Prof. Djo justru kian relevan. Ia membuktikan bahwa birokrat bisa tetap kritis, akademisi bisa tetap membumi, dan tokoh bisa tetap sederhana.

Warisan terbesarnya bukan jabatan atau tanda jasa, melainkan konsistensi menjaga integritas dan keberpihakan pada rakyat.

Indonesia jelas butuh lebih banyak sosok seperti Prof. Dr. Djohermansyah Djohan—begawan otonomi daerah, penjaga nurani bangsa, sekaligus kompas moral di tengah arus zaman yang kerap menyesatkan.

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here