DENPASAR, BERITA DEWATA – Rencana pembangunan terminal Liquefied Natural Gas (LNG) di kawasan Sidakarya, Denpasar, kembali menjadi sorotan. Pemerhati lingkungan sekaligus Country Director World Resources Institute (WRI) Indonesia, T. Nirarta “Koni” Samadhi, menyampaikan pandangannya mengenai proyek ini.
Menurut Koni, transisi menuju energi bersih dan terbarukan merupakan arah kebijakan yang tepat. Namun ia mengingatkan, meski LNG lebih bersih dibandingkan batu bara, jenis energi ini tetap bukan energi terbarukan.
“LNG itu lebih bersih, tapi tidak terbarukan. Kalau bisa langsung ke energi yang bersih dan terbarukan, kenapa tidak? Tapi tentu segala sesuatu butuh proses, transisi, dan kesiapan, termasuk dari sisi investasi dan teknologi,” ujarnya saat ditemui di Denpasar, Jumat (11/7/2025).
Ia menambahkan, pembangunan terminal LNG memang tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), bersamaan dengan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar di Bali. Namun, menurutnya, pilihan langsung ke energi terbarukan akan lebih ideal.
“Kalau boleh memilih, tentu kita pilih PLTS dulu karena langsung menuju energi bersih. Bahkan saya dengar ada investor dari Korea yang tertarik membangun pembangkit tenaga listrik hidrogen di Bali. Itu teknologi tinggi, langsung bersih dan terbarukan,” ujarnya.
Terkait dampak pembangunan terminal LNG di Sidakarya, Koni menekankan pentingnya pendekatan sistem secara menyeluruh untuk mengukur efek proyek terhadap lingkungan dan ekonomi secara luas.
“Ada pendekatan teknik sistem dinamik untuk melihat dampak intervensi terhadap sistem energi secara luas. Misalnya, saat kita mendorong kendaraan listrik, harus dilihat pula dampaknya terhadap permintaan nikel dan bahan baku lain. Hal serupa berlaku untuk LNG,” jelasnya.
Ia juga menyebut bahwa hingga kini belum ada kajian sistematis dari lembaga lingkungan terkait dampak spesifik pembangunan terminal LNG di Sidakarya, termasuk terhadap ekosistem laut di sekitar Serangan.
“Memang belum ada kajian konkret dari kami. Tapi saya kira lembaga riset seperti universitas punya kapasitas untuk membuat pemodelan dan analisis yang lebih dalam dan akurat,” kata Koni.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Bali menyatakan bahwa proyek pembangunan terminal LNG di Sidakarya telah melalui berbagai kajian komprehensif, termasuk kajian lingkungan dan risiko. Proyek ini disebut sebagai bagian dari Program Bali Mandiri Energi Bersih yang mendukung target Net Zero Emission 2045.
Gubernur Bali I Wayan Koster menyebut pembangunan terminal LNG sebagai langkah strategis untuk mewujudkan kemandirian energi sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan dan pariwisata.
“Bali adalah pulau kecil, destinasi wisata dunia. Tidak boleh tergantung pada energi dari luar. Kita harus mandiri dengan energi bersih,” ujar Koster di Denpasar, 5 Juni lalu.
Ia menegaskan, proyek ini telah mendapatkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Rute kapal pengangkut LNG tidak melewati terumbu karang aktif, dan kapal hanya berlabuh setiap 42 hari dengan proses bongkar muat selama 24 jam.
“Pipa gas juga dipasang di kedalaman 15 meter, di bawah akar mangrove tanpa mengganggu ekosistem,” tambahnya.
Koster menepis kekhawatiran terkait potensi ledakan LNG. Menurutnya, jika terjadi kebocoran, LNG akan langsung menguap ke udara. Proses pengerukan pun akan menggunakan teknologi kapal hisap pasir dengan kelambu lumpur guna meminimalkan kekeruhan air laut.
Pemprov Bali juga merancang program untuk wilayah terdampak yang disebut Sekartanur (Serangan, Sidakarya, Sesetan, dan Sanur). Dalam skema ini, desa adat disebut akan mendapat manfaat ekonomi melalui peluang kerja sama BUMDes, BUMDA, dan pengembangan kawasan wisata.
“Semua proses harus jelas dan benar. Saya tidak akan membiarkan pembangunan merugikan masyarakat atau dilakukan secara represif,” tegas Koster.
Terminal LNG Sidakarya nantinya akan terintegrasi dengan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Pesanggaran dan pembangkit baru di perbatasan Denpasar-Gianyar. Pemerintah menargetkan kapasitas listrik Bali dapat mencapai 1.550 megawatt pada 2029.
Program Bali Mandiri Energi Bersih ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan solar, memperkuat ketahanan energi lokal, serta mendorong transisi menuju ekonomi hijau yang mendukung pariwisata berkelanjutan.