Denpasar – Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto membuka secara resmi kegiatan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Peningkatan dan Pemberdayaan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Sanur Bali, Selasa (13/11).
Kegiatan tersebut diikuti oleh 100 orang peserta yang terdiri dari Kelompok Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), para pengelolah hutan desa (HD), kelompok tani hutan (KTH), Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), anggota kesatuan pengelolah hutan (KPH), para ketua dan anggota Dharma Wanita Kementerian LHK dan jajarannya dari pusat hingga daerah serta tim Pokja PUG dari Kementerian LHK.
Para peserta memang lebih banyak berasal dari Bali. Namun demikian ada juga peserta dari berbagai daerah di Indonesia seperti para petani kopi dari Garut Jawa Barat yang telah memanfaatkan hutan sosial dan juga berasal dari Sumatera, Nusa Tenggara dan sebagainya.
Menurut Bambang, di Bali ini sudah keluarkan izin, bahwa rakyat bisa mengolah hutan dalam bentuk akses dan bukan kepemilikan sertifikat. Dan ini dibina oleh KPH yakni pemerintah daerah atau perpanjangan tangan dari pemerinrtah di area hutan lindung dan hutan produksi. Sebagian sudah diberikan kepada rakyat seluas 5 ribu hektar.
Namanya juga hutan sosial maka masyarakat harus diberikan keleluasaan untuk mengolahnya. Sebetulnya satu KK hanya boleh satu hektar hutan, tetapi kalau seandainya masyarakat ingin lebih dan lahannya masih luas bisa diberikan kewenangan tersebut. Mereka harus tanan kayu atau menjaga kayu hutan yang sudah ada.
Tetapi boleh dengan pola tumpang sari, misalnya dengan tanam kopi, kakao, peternakan, perikanan tergantung kesepakatan antara KPH dan masyarakatnya. Produknya disetujui dan bisa disebut dengan rencana karya usaha (RKU) dalam tahunan.
“Lalu apa upaya selanjutnya. Yang namanya masyaraka banyak, lalu produknya banyak, maka dia tidak akan bernilai bila tidak ada pasar, pengolahan dan sebagainya. Makanya harus disepakati, produknya yang paling potensial apa. Misalnya kopi, maka itu yang harus diusahakan, termasuk jasa lingkungan untuk wisata atau kegiatan lainnya. Hutannya tetap terjaga, kayunya terawat, menghasilkan produk bagi masyarakat,” ujarnya. Contohnya di Desa Wanagiri Kabupaten Buleleng, wisatanya maju sekali. Juga dikembangkan wisata edukasi.
Selama ini ada banyak produk dari HD atau KTH seperti kopi, wisata, madu, ternak, kacang, jagung, sayur-sayur dan sebagainya. Belum lagi produk olahan dan sebagainya. Upaya ini sudah dilakukan sejak tahun 2015. Di Bali misalnya, karena pulaunya kecil, maka pertahun hanya bisa 2000 ribu hektar.
Upaya ini akan dikembangkan sampai 2019 tahun depan. “Setelah lahan itu dikasi ke rakyat maka harus ada pendampingan karena lahan itu hanya dikasih pakai 35 tahun dan bisa diperpanjang. Kalau tidak ada pendampingan maka rakyat akan mengerjakannya secara tradisional dan hasilnya tidak efektif,” ujarnya.
Secara nasional, target hutan sosial ini sebanyak 12,7 juta hektar. Menteri LHK Siti Nurbaya sudah melakukan pencadangan melalui peta indikatif area perhutanan sosial (PIAPS). “Kalau cita-cita hanya 12.7 juta hektar, kita sudah mencapai 13,4 juta hektar. Artinya sudah melampaui alokasi sebelumnya,” ujarnya.
Namun karena akses diberikan kepada masyarakat harus tepat sasar, by name by addres, dan hutannya clean and clear, maksudnya tidak ada konflik maka capaian yang sudah di-SK-kan sampai dengan hari ini tanggal 13 November 2018 baru mencapai 2,173 juta hektar yang meliputi 5092 lokasi di seluruh Indonesia. Luas ini melibatkan sekitar 500 ribu KK.
Hitung saja kalau satu KK ada 4 orang maka ada 2 juta orang yang terlibat dalam perhutanan sosial tersebut. Kendalanya adalah pendamping yang belum banyak. Saat ini jumlah pendamping baru mencapai 3600. Masih kurang 1600. Untuk melengkapi ini pemerintah mengakali dengan membuka kesempatan kepada masyarakat umum.
LSM boleh, para donatur boleh, para aktifis juga boleh. Asalkan mereka memperoleh sertifikasi kompetensi dengan mengikuti pelatihan selama 20 jam tentang penyuluh perhutanan sosial sebanyak 7 modul agar dia memiliki kompetensi. Bila terakses semua, maka ada 3 juta KK di Indonesia yang akan mengakses hutan sosial. Bila dalam 1 KK ada ada 4 orang maka ada 12 juta orang di Indonesia yang bisa hidup dari hutan sosial dengan penghidupan yang layak dan sejahtera.