DENPASAR, BeritaDewata – Sidang kasus dugaan penipuan dan pemalsuan dokumen pada akta otentik dengan terdak bos Hotel Kuta Paradiso Harijanto Karjadi kembali digelar di PN Denpasar, Selasa (10/12). Agenda kali ini masih dalam tahap pemeriksaan saksi fakta. Tim JPU yang diketuai Ketut Sujaya menghadirkan tiga saksi sekaligus.
Ada pun saksi yang dihadirkan kali ini adalah I Gusti Ayu Nilawati sebagai notaris bersama dua orang stafnya yang salah satunya bernama I Gusti Rai Kartika. Namun dalam persidangan yang diketuai oleh Hakim Soebandi, penjelasan lebih banyak dilakukan notaris Nilawati. Sementara kedua stafnya mendukung penjelasan atasannya.
Dalam kesaksiannya, Nilawati mengaku jika dirinya hanya membuat akte notaris. Nilawati yang berkantor di Jl Raya Kuta Nomor 87 tersebut mengaku sudah mengenal terdakwa sejak tahun 1996 karena terdakwa sudah berhubungan dengan Notaris Nilawati untuk berbagai kepentingan perusahan.
Menurut Nilawati, dirinya hanya mengeluarkan akte atas dua peristiwa. Pertama, soal Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dijelaskan, dalam RUPS tersebut sudah ada tandatangan terdakwa selaku direktur utama dari PT GWP yang juga membawahi Hotel Kuta Paradiso. “Saya hanya me-notarial-kan hasil RUPS. Saya hanya mengeluarkan akta dari RUPS. Semua penelitian, prosedur dilakukan. Dan di dalamnya ada tanda tangan terdakwa,” ujarnya.
Kedua, adalah akta jual beli saham PT GWP. Dari RUPS itu ada keputusan untuk menjual saham. Dalam akta kedua ini diketahui antaraHartono Karjadi (masih kerabat terdakwa) dan Sri Karjadi. Ia mengaku jika peran terdakwa adalah ada di RUPS yang ditandatangani terdakwa selaku direktur utama.
“Penjualan saham ini juga merupakan kelanjutan dari RUPS yang ditandatangani terdakwa. Kami hanya mengeluarkan akta. Tidak lebih dari itu,” ujarnya. Nilawati juga membantah jika pembuatan akta itu karena adanya tekanan dari berbagai pihak.
“Saya hanya mengatakan apa yang sebenarnya, yang sesuai dengan proses yang terjadi. Dan saya mengeluarkan akta itu sudah sesuai dengan prosedur yang ada,” ujarnya. Ia meyakinkan sidang bahwa hasil RUPS itu dinotarialkan oleh notaria untuk PT GWP.
“Intinya, terdakwa yang menyatakan keputusan rapat tersebut sah. Kemudian terdakwa yang menandatangani keputusan RUPS tersebut. Kami menilai bahwa standar RUPS terpenuhi. Jual beli saham dibuat berdasarkan RUPS. Jadi tidak masalah,” ujarnya.
Penjelasan saksi fakta ini rupanya tidak memuaskan terdakwa. Melalui penasihat hukumnya, saksi Nilawati diminta untuk dihadirkan kembali dalam persidangan berikutnya. Tujuannya untuk mencocokan dokumen antara yang dipegang Notaris Nilawati dan dokumen yang dipegang oleh PT GWP.
Permohonan tersebut dikabulkan Ketua Majelis Soebandi dan disetujui tim JPU. Artinya dalam persidangan berikutnya, Notaris Nilawati kembali dihadirkan dengan membawa sejumlah dokumen yang diminta.
Ada hal menarik dalam sidang kali ini. Dimana Ketua Majelis Hakim Soebandi berlaku sangat ramah terhadap para saksi. Moment ini terjadi ketika saksi merasa tertekan dengan pertanyaan penasihat hukum terdakwa yang meminta pendapat atau penilaian pribadi saksi selaku notaris.
Soebandi juga meminta sidang diskors walaupun akhirnya tidak jadi diskors karena melihat saksi batuk-batuk. Soebandi juga tidak segan-segan meminta air putih kepada pengunjung untuk diberikan kepada saksi Nilawati karena suaranya hampir hilang.
“Sidang ini tidak untuk membentak-bentak orang. Kita harus jaga dan harus membuat nyaman saksi atau siapa saja saat sidang,” ujar Soebandi. Moment ini sekaligus membantah jika PN Denpasar mengistimewakan saksi tertentu dan menganatirikan saksi lainnya.