DENPASAR, BeritaDewata – Sidang kasus dugaan pemalsuan akta otentik dan penggelapan dengan terdakwa Bos Hotel Kuta Paradiso Harijanto Karjadi kembali digelar di PN Denpasar, Selasa (17/12). Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi tersebut dipimpin Ketua Majelis Hakim Soebandi dan JPU dipimping Ketut Sujaya.
Dalam sidang kali ini JPU menghadirkan saksi yakni Direktur Gaston Investmen Limited Tirta Mahendra Dwi Putra. Dalam keterangannya, Tirta mengaku terdakwa yakni bos Hotel Kuta Paradiso Harijanto Karjadi selaku Direktur Utama PT Geria Wijaya Prestige (GWP) tidak bisa memenuhi kewajibannya selaku debitur dan mengalihkan saham ke pihak lain tanpa sepengetahuan kreditur.
“Kami selaku kreditur sama sekali tidak diberitahu jika terdakwa telah mengalihkan saham ke pihak lain. Kami sudah menempuh jalur hukum dan kami dinyatakan menang. Keputusan bersifat incraht sampai di tingkat PK,” ujarnya.
Sementara kuasa hukum Gaston Investmen Limited Kores Tambuan yang ikut mendampingi Direktur Gaston usai sidang mengatakan, sampai dengan batas waktu yang ditentukan, PT GWP tidak pernah membayar utang. Juga tidak ada niat baik untuk memenuhi berbagai kewajibannya sekaligus melakukan tindakan melawan hukum yakni mengalihkan saham yang masih dalam proses utang ke pihak lain tanpa sepengetahuan kreditur.
Untuk itulah pihaknya melaporkan terdakwa. Saat ini kasusnya dimenangkan oleh Gaston Investmen Limited. “Kita sudah mempunyai kekuatan hukum tetap mulai dari keputusan pengadilan negeri hingga putusan PK. Namun kami mempertanyakan kenapa hingga saat ini belum dieksekusi beberapa jaminan sesuai putusan pengadilan seperti beberapa di antara saham, tanah dam bangunan di Hotel Kuta Paradiso. Tidak ada lagi persoalan hukum selain eksekusi jaminan tersebut,” ujarnya.
Selain itu, Alfort Capital Limited melalui kuasa hukumnya Sendi Sanjaya, mendukung langkah hukum yang dilakukan Tomy Winata melaporkan Bos Hotel Kuta Paradiso Harijanto Karjadi. Hal tersebut dikarenakan pengalihan saham PT. GWP jelas bertentangan dengan Akta Perjanjian Pemberian Kredit Nomor 8 tanggal 28 November 1995 yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris Hendra Karyadi, S.H.
“Pengalihan saham tersebut tidak pernah diberitahukan apalagi mendapatkan persetujuan dari kami selaku salah satu kreditur yang telah mempunyai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 27/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst. tanggal 18 Agustus 2011 jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 187/PDT/2012/PT.DKI tanggal 17 Juli 2012 jo. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1300 K/Pdt/2013 tanggal 19 Agustus 2013 jo. Putusan Peninjauan Kembali Nomor 232 PK/Pdt/2014 tanggal 17 September 2014 jo. Putusan Peninjauan Kembali Kedua Nomor 531 PK/Pdt/2015 tanggal 21 Maret 2016.
Hal tersebut jelas tidak dibenarkan karena saham-saham PT. GWP yang awalnya dimiliki Harijanto Karjadi, Hermanto Karjadi dan Hartono Karjadi telah menjadi objek jaminan kredit kepada para kreditur yang salah satunya adalah kami. Jadi jika ada pengalihan saham baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain, harus sepengetahuan dan sepersetujuan para kreditur,” ujarnya.
Sendi juga menanggapi keterangan dari Penasehat Hukum Harijanto Karjadi yang dikoordinir Petrus Bala Pattyona yang dimuat dalam beberapa media baik cetak maupun elektronik yang menyatakan PT. GWP belum menyelesaikan kewajiban kepada para kreditur dikarenakan belum ada satu pihak pun yang benar-benar solid secara hukum punya hak mengklaim kepemilikan piutang PT. GWP.
“Kami justru merasa lucu dengan keterangan Penasehat Hukum Harijanto Karjadi tersebut. Jika yang dimaksudkan hanya terhadap perkara No. 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst. hal tersebut lucu sekali. Kami Alfort Capital Limited sudah mempunyai putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sejak tahun 2013 yang menyatakan PT. GWP diharuskan membayar utang kepada Alfort Capital Limited selaku salah satu kreditur yang sah, tapi sampai saat ini PT. GWP masih belum juga membayar utangnya tersebut dan masih terus melakukan perlawanan hukum yang seyogyanya tidak dapat dilakukan lagi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.
Selain itu, Sendi juga menanggapi keterangan dari Kuasa Hukum PT. GWP yang lain yakni Boyamin Saiman yang pada intinya menyatakan dan meminta agar pihak-pihak menghormati putusan hakim.
“Bagaimana bisa kuasa hukum PT. GWP meminta pihak-pihak menghormati putusan hakim, sementara PT. GWP sendiri tidak mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang telah dimiliki oleh Alfort Capital Limitied. Keterangan kuasa Hukum PT. GWP tersebut kontradiktif dengan perbuatan PT. GWP yang hingga saat ini belum juga melakukan kewajiban pembayaran utang kepada para kreditur terutama Alfort Capital Limited yang telah memiliki putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.
Sendi juga meminta agar pihak pengadilan segera melakukan eksekusi tanah dan bangunan di Hotel Kuta Paradiso. Sebab itu merupakan salah satu obyek fisik yang dijadikan jaminan. Alfort Capital Limited telah melakukan upaya untuk dapat melakukan lelang eksekusi terhadap objek jaminan kredit yakni tanah dan bangunan Hotel Kuta Paradiso sesuai Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 204/Desa Kuta, SHGB Nomor 205/Desa Kuta dan SHGB Nomor 207/Desa Kuta, yang mana lelang eksekusi tersebut telah dilaksanakan namun dibatalkan pada hari H (tanggal 12 Juli 2018) dikarenakan belum terbitnya Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Kantor Pertanahan Badung.
Adapun Sendi meminta kepada PT. GWP untuk segera melakukan kewajibannya membayar utang kepada para kreditur terutama Alfort Capital Limited yang jelas telah memiliki putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sejumlah USD 20,389,661.26 (dua puluh juta tiga ratus delapan puluh sembilan ribu enam ratus enam puluh satu dollar Amerika point dua puluh enam sen)