Saatnya Bali Perlu Diversifikasi Produk Pariwisata di Tengah Pandemi

Acara Capacity Building BI bagi awak media di Denpasar, Kamis (20/5/2021).

DENPASAR, BeritaDewata – Pandemi Covid19 yang melanda dunia saat ini membuat pariwisata tidak bisa berkembangan. Hal ini disebabkan banyak negara di dunia menutup kran pariwisata dan melarang warganya untuk bepergian keluar negeri.

Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Rizky Ernadi Wimanda mengatakan, kondisi yang sama juga terjadi di Bali yang hidup dari pariwisata. Untuk itu ia mengajak pihak-pihak terkait dalam upaya memulihkan ekonomi setempat dari dampak pandemi Covid19 dengan melakukan diversifikasi produk pariwisata.

“Jangan hanya mengandalkan dari rencana dibukanya kunjungan wisatawan mancanegara. Selama di Bali masih ada zona merah, akan sulit wisman mau datang,” kata Rizky dalam acara Capacity Building BI bagi awak media di Denpasar, Kamis (20/5/2021).

Menurutnya, diversifikasi produk pariwisata Bali bisa berupa pertanian dan pendidikan. Dua produk ini bisa dikembangkan di Bali. Di sektor pendidikan misalnya, agar universitas internasional yang ternama juga bisa ada di Bali, seperti halnya banyak universitas yang ada di Inggris juga cabangnya dibuka di Malaysia.

Banyak orang ingin memiliki ijazah dari luar negeri terutama di Eropa. Namun sesungguhnya pendidikan tersebut bisa ditempuh di Indonesia bila sudah memiliki sistem pendidikan bertaraf internasional. Bila sudah ada pendidikan bertaraf internasional di Bali maka bukan tidak mungkin akan ada banyak mahasiswa asing terutama dari negara-negara Asia yang akan datang ke Bali untuk menempuh pendidikan tersebut.

Selain pendidikan, Bali bisa juga mengembangkan sektor pertanian. Hingga saat ini, pertanian di Bali belum tergarap dengan baik. Sektor pertanian yang ada saat ini masih banyak menggunakan sistem konvensional. Padahal sebenarnya dapat didorong dengan pengembangan “digital farming” dan “smart farming”.

“Kalau masyarakat Bali terus hanya bergantung pada kedatangan wisman, maka pertumbuhan ekonomi Bali juga akan makin lama terkontraksi,” jelasnya. Potensi kunjungan wisatawan domestik pada sebelum pandemi pun pertahun cukup besar di atas 10 juta, sedangkan wisman dengan kunjungan 6,2 juta orang. Hal ini sangat jelas sebab, pemerintah baik dari pusat hingga daerah untuk saat ini masih berperang melawan pandemi Covid19.

“Karena kesehatan itu sangat penting dan saat ini masih diutamakan. Bali tidak bisa ingin buka sendiri karena pemerintah pusat belum mengizinkannya karena ini berhubungan dengan orang asing. Jangan sampai kita memaksakan untuk dibuka pariwisata sementara bila wisatawan terpapar, maka biaya pengobatan lebih tinggi,” ujarnya.

Rizki juga menjelaskan bahwa pada triwulan I-2021, pertumbuhan ekonomi Bali masih mengalami kontraksi yakni sebesar minus 9,85 persen (yoy). Meskipun kontraksinya sudah sedikit melandai dibandingkan saat triwulan IV 2020 yang sebesar minus 12,21 persen.

Rizky melihat potensi Bali dari sisi industri kreatif dan desain yang begitu luar biasa, pun sangat tepat untuk lebih digarap guna membangkitkan ekonomi Bali. Pihaknya juga banyak mengulas tentang kebijakan makroprudensial Bank Indonesia dan implementasinya. Salahsatu tugas utama Bank Sentral atau Bank Indonesia adalah membuat kebijakan makroprudensial.

Fungsinya untuk menjaga stabilitas dan kelancaran sistem keuangan. Rizki menggambarkan, prinsip kehati-hatian dalam skala makro yang dimiliki oleh Bank Indonesia berlaku untuk semua bank. “Misalnya ditetapkan nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.500, maka di bank apapun akan sama, jadi agregat. Sehingga, resiko yang ada di tingkat individual bisa terabaikan,” katanya.

Kebijakan makroprudensial berkebalikan dengan kebijakan mikroprudensial. Rizki mengatakan, mikroprudensial hanya mengarah pada individu perbankan. Tugas itu dilakukan oleh pemerintah. Ada empat poin di dalam kebijakan makroprudensial ini yakni, adanya resiko pada aktifitas bisnis di sistem perbankan, inovasi produk keuangan yang bermunculan disertai potensi resiko baru, perilaku ambil resiko yang berlebihan dengan mengabaikan ketidakseimbangan di bidang keuangan dan keterhubungan sistem keuangan. “Sehingga akan mengakibatkan dampak krisis yang cepat meluas di dalam dan ke sektor lain,” jelasnya.

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here