Beritadewata.com, Denpasar – Kepala Subdit Sumber Daya Ikan ZEE dan Laut Lepas Kementerian KKP Saut Tampubolon saat ditemui di Denpasar, Selasa (21/2) menjelaskan, penangkapan ikan dengan menggunakan rumpon di Indonesia saat ini sudah sangat mengancam baik produksi ikan tangkap terutama tuna maupun kualitas hasil tangkap tersebut. Padahal, kondisi tuna di Indonesia saat ini menduduki 20 persen produksi ikan tangkap secara nasional.
“Kalau penangkapan terus menggunakan rumpon maka sudah dipastikan semakin tahun produksi ikan tangan secara nasional akan semakin berkurang, kualitasnya juga semakin berkurang. Karena rumpon itu menghalangi migrasi ikan tuna, mempersempit populasi dan seterusnya,” ujarnya.
Ia menjelaskan, banyak hal negatif dari rumpon. Penggunaan rumpon menyebabkan hasil tangkapan tidak mengenal jenis apa pun karena asal masuk rumpon sudah pasti ditangkap. Dengan ikan masuk rumpon maka migrasi ikan semakin sempit, tidak ada ruang bagi ikan untuk bertelur, berkembangbiak dan sebagainya.
“Ikan yang sebenarnya masih bergerak, namun melihat banyak makanan di rumpon, maka semuanya terperangkap. Lalu semua yang ada di rumpon disikat semua, apakah besar, kecil, sama saja. Semuanya dipukul rata,” ujarnya.
Produksi hasil tangkap akan semakin kurang karena ikan tidak diberi kesempatan untuk bertelur dan berkembangbiak. Kualitas semakin berkurang karena tuna misalnya hanya boleh menangkap di atas 100 sentimeter, sekarang kurang dari 40 senti juga ditangkap karena menggunakan rumpon.
“Cepat atau lambat tapi pasti nelayan akan semakin susah dapat tuna. Apalagi sekarang pasar hanya menerima tuna di atas 100 sentimeter,” ujarnya. Artinya, bila rumpon tidak ditertibkan maak nelayan Indonesia sedang membunuh dirinya sendiri dan lama-lama akan kalah bersaing dengan produkai tuna dari berbagai negara di dunia.
Kepala Pusat Riset Perikanan Toni Ruchimat mengatakan, saat ini Indonesia memiliki 234.543 rumpon dan tersebar di seluruh perairan Indonesia. Itu pun sejauh yang tercatat. Sementara ada banyak rumpon yang luput dari pemantauan. “Jumlah ini semakin banyak dan tidak terkendali karena rumpon memudahkan penangkapan ikan. Data dan informasi jumlah dan posisi rumpon sangat sulit diperoleh dan tidak didafarkan,” ujarnya.
Keberadaa rumpon ini tidak dilengkapi dengan tanda kepemilikan sehingga sulit ditelusuri apabila rumpon sudah tidak difungsikan lagi. Lebih parahnya lagi, keberadaan rumpon yang tidak dikendalikan memberikan peluang bagi nelayan asing untuk mencuri ikan di sekitar rumpon.
Menurutnya, satu kapal hanya boleh 3 rumpon sesuai base on market need. Seharusnya, setiap rumpon dipantau radar atau sebaliknya rumpom dilarang sama sekali. Sampai saat ini Indonesia telah memiliki rencana pengelolahan rumpon yaitu Indonesia Fish Aggregating Devices Management Plan in Western Central Pasific Ocean. Namun rupanya semuanya tidak efektif.
“Hanya ada dua kemungkinan, apakah pemerintah mau mengelolah rumpon dengan baik atau menghapus sama sekali. Ini demi keberlangsungan produksi ikan tangkap dan memenuhi kualitas pasar. Kalau tidak dilakukan maka hancur produksi ikan di Indonesia,” ujarnya.
Sementara potensi perikanan tuna Indonesia sangatlah besar. Hal ini dikarenakan perairan pantai, teritorial, dan zona ekonomi eksklusif negara ini merupakan jalur migrasi tuna dunia. Dikenal masyarakat lokal dengan sebutan tongkol dan cakalang, saat ini tuna merupakan penyumbang ekspor sektor perikanan terbesar ke-2 setelah udang.