Ribuan Orang Desa Tukad Mungga Gelar Megebeg-Gebegan

Tradisi Megebeg Gebegan di desa Tukad Mungga menjadi tradisi yang tidak di miliki oleh desa lainya di Kabupaten Buleleng, Bali

Beritadewata.com, Singaraja – Desa Tukad Mungga secara admistrasi  merupakan  bagian dari wilayah kecamatan dan kabupaten Buleleng yang mempunyai bentang luas wilayah 196 hektar dengan jumlah penduduk sekitar 1500 Kartu Keluarga (kk) atau 3805 jiwa, desa Tukad Mungga dibagi menjadi empat banjar dinas diantaranya banjar dinas Dharma Semadi, Dharma Yasa, Darma Yadnya dan Dharma Kerti. Dimana nama desa Tukad Mungga yang sebelumnya bernama Desa Dharma Jati. Yang menjadi pertanyaan banyak pihak adalah kenapa desa Tukad Mungga yang memiliki empat Banjar Dinas semua bernama “Dharma”

Dari berbagai sumber, konon dari leluhur nama tersebut sudah diwariskan sejak dahulu dengan nama Desa Dharma Jati yang juga dicetuskan oleh almarhum A.A Made Rai yang sekaligus selaku kepala Desa pada waktu itu setelah G 30 S yang mana desa Tukad Mungga sebelumnya bernama Dharma Jati dan Tukad Munggah. Namun bergantinya nama Dharma Jati dan Tukad Munggah saat di komfirmasi ke perbekel Desa Tukad Mungga I Made Arka, mengaku tidak tau percis sejarah bergantinya menjadi Tukad Mungga.

Asal usul desa Tukad Mungga seperti diceritakan oleh Klian adat Ketut Wicana, Berdasarkan cerita para sesepuh Desa Tukad Mungga, konon bernama Desa “Tukad Munggah” karena dahulu sungai di Desa ini airnya sangat bening, akan tetapi sungai tersebut sangatlah angker sehingga para penduduk tidak yang berani mandi di aliran sungai, untuk melewati sungai pun orang tidak ada yang berani karena ke Angkerannya.

Suatu hari konon ada Putri teramat cantik datang melewati sungai dan tertarik dengan kebeningan air tersebut, dia merupakan titisan dewa yang bernama Dewi Ayu, kecantikan putri tersebut sangatlah sempurna, kulitnya putih dan rambutnya terurai hitam lembut dan sangat panjang. Dewi Ayu kemudian tertarik mandi di aliran air sungai tersebut, rambut panjangnya terurai terbawa arus sungai hingga ke muara pesisir pantai.

Saat itu pula konon ada seorang raja yang sangat tampan kebetulan berlayar melewati aliran sungai itu . Raja bernama Gempu Awang, alangkah terkesimanya si Gempu Awang melihat uraian rambut indah di muara sungai, hatinya berdebar dan berpikir bahwa pastilah si pemilik rambut ini adalah seorang putri cantik hingga tanpa berpikir panjang Gempu Awang kemudian membelokkan arah perahunya menelusuri uraian rambut tersebut alangkah terkejutnya si Gempu Awang ketika melihat seorang putri yang sangat cantik bagaikan bidadari dari khayangan sedang mandi di hadapannya.

Seketika mata sang Gempu Awang terpelotot, pikirannya menerawang dan hatinya terpesona melihat keindahan tubuh Dewi Ayu dan dengan penuh rasa kagum Si Gempu Awang mendekati sang putri tanpa ragu-ragu mengungkapkan isi hatinya serta berniat melamar Dewi Ayu untuk dijadikan permaisuri.

“Melihat seorang laki-laki yang tidak santun mendekati Dewi Ayu disaat sedang mandi dan ingin melamarnya membuat sang putri menjadi marah yang akhirnya dengan kesaktiannya sang putri mengutuk Si Gempu Awang dan perahunya menjadi sebuah batu besar dan menutupi badan sungai sehingga air sungai menjadi meluap ke daratan Desa.” Ungkap Ketut Wicana, saat ditemui Senin, 27 Mei 2017.

Diceritakan, Ketut Wicana, para petani sawah pun ketika itu berlimpahan air, namun lahan yang mereka garap yang ditanami padi dimakan hama tikus-tikus, warga pun sangat bingung memimikirkan lahan tersebut dan membiarkanya, penyakit pun menyerang warga. Akhirnya para warga memohon petunjuk kepada lelur dalam petunjuk itu desa harus mengadakan pecaruan sebelum hari raya Nyepi atau hari raya besar lainya dengan sarana seekor Sapi.

Setika itu warga mengadakan rembug dan melaksanakan hal itu untuk memelihara Jangkrik, dengan suara jangkrik akhirnya hama tikus – tikus yang memakan padi mereka hilang dan meninggalkan sawah mereka warga pun bergembira ria. Karna banyakanya peliharaan jangkrik – jangkrik tersebut beberapa ada yang di adu (dipertandingkan) oleh warga , warga pun bingung jangkrik aduan mereka biar sama-sama kuat lalu dicetuskan kembali mencari lidah sapi untuk dijadikan pakan jangkrik itu sendiri.

Salah satu warga pun memberikan seekor ternak sapinya untuk di cari lidahnya namun daging – daging sapi tersebut semuanya dipakai untuk saranya upacara sebelum perebutan itu dilaksanakan, lidah sapi itu tidak dibagi-bagikan namun lidah yang masih menempel dimulut bersama kepala harus diperebutkan di pertigaan Desa Adat Dharma Jati yang kini dengan sebutan desa Tukad Mungga. Disanalah para warga berbondong – bondong datang kepertigaan Desa untuk berebut lidah sapi yang masih menempel, dalam perebutan tersebut warga menamai ” Megebeg-Gebegan”.

Sebelum Megebeg-gebegan dimulai warga membagi menjadi empat kelompok yang mana kelompok berebut masih banjar itu sendiri meliputi, Banjar Dharma Semadi, Dharma Yasa, Dharma Yadnya dan Dharma Kerti, dalam persebutan kali ini, digelar, Senin 27 Maret 2017, sekitar pukul 17 : 00 WITA, dan akhirnya, yang berhasil merebut kepala dan lidah itu dari banjar Dharma Semadi. Menariknya, dalam perebutan tersebut para warga tidak ada yang berkelahi hingga selesai, malahan kepala dan lidah tersebut dikasihkan kepada banjar yang kalah berebut.

Tradisi Megebeg Gebegan di desa Tukad Mungga menjadi tradisi yang tidak di miliki oleh desa lainya di Kabupaten Buleleng, Bali. “Kami akan terus  meneruskan tradisi ini, dan akan tetap dilestarikan dengan tujuan menjaga persatuan dan mempererat persaudraan kerama Desa.” Pungkas Ketut Wicana.

Baca juga: Desa Tukad Mungga Buleleng Perayaan Ogoh-Ogoh 2 Hari Jelang Nyepi

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here