DENPASAR, BeritaDewata – Ketua PWI Bali, IGMB Dwikora Putra menyatakan komitmennya menolak pemberian remisi pada Susrama. “Sikap saya dan PWI tetap seperti semula. Kami menolak dan minta kepada penerintah dan presiden untuk tidak mengabulkan permohonan remisi dari Napi Nyoman Susrama, yang telah melakukan pembunuhan terhadap wartawan di Bali,” ujar Dwikora saat dikonfirmasi di Denpasar, Kamis (11/3/2021).
Wartawan senior di Bali ini yakin Presiden Jokowi tidak akan mengabulkan permohonan remisi Susrama. Menurut Dwikora, kasus Prabangsa dengan aktor intelektual Susrama sudah sangat melukai dan mencederai profesi wartawan dan kemerdekaan pers. “Bagi kami (wartawan) tidak ada kompromi, tetap keberatan dan menolak remisi Susrama,” tegasnya.
Dwikora juga meminta Kepala Kanwil hukum dan HAM Bali tidak main-main dalam kasus ini. Sebab kasus ini sudah sampai ke presiden. Dan, lanjut Dwikora, Presiden Jokowi sudah membatalkan remisi susrama tahun 2019. Pembatalan itu disampaikan langsung saat puncak peringatan HPN di Surabaya, 9 Februari 2019. “Jadi saya yakin tidak akan ada remisi buat Susrama. Tapi ini harus terus kita kawal,” pungkasnya.
Ternyata bukan hanya PWI Bali yang menolak remisi terhadap Susrama. Terkait pengajuan kembali remisi oleh terpidana, I Nyoman , dalang pembunuhan, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali, Jawa Pos Grup, semua organisasi wartawan di Bali sepakat agar pemerintah tidak mengabulkan permohonan tersebut.
Mulai dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar, hingga Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali.
“AJI Kota Denpasar sebagai sebuah organisasi profesi jurnalis, memberikan pernyataan tegas agar pihak-pihak terkait menolak remisi Susrama,” tegas Koordinator Divisi Advokasi Putu Darmendra didampingi Sekretaris AJI Kota Denpasar Yoyo Raharyo.
Ada empat poin sikap AJI Kota Denpasar. Pertama, jelas Darmendra, menolak remisi yang diajukan Susrama. Kedua, menuntut lembaga-lembaga terkait, baik Rutan Bangli, Bapas Karangasem, Kanwil Hukum dan HAM Bali, Kemenkum dan HAM, serta Presiden Joko Widodo untuk menolak permohonan remisi Susrama. “Kami minta semua pihak terkait menghentikan proses permohonan remisi I Nyoman Susrama,” tegas Yoyo.
Poin ketiga, pelaku kekerasan, termasuk pembunuhan terhadap jurnalis adalah musuh kemerdekaan pers. Pelakunya harus dihukum maksimal. “Pemberian remisi terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis adalah musuh pers,” tandas Darmendra.
Poin keempat, AJI Kota Denpasar akan melakukan upaya-upaya demokratis yang disediakan negara, baik demonstrasi atau dialog dengan pihak-pihak terkait agar permohonan remisi Susrama.
AJI Denpasar sejak 2009 atau terjadinya pembunuhan Prabangsa sangat getol menuntut pelaku diberikan hukuman maksimal. Hukuman seumur hidup untuk Susrama sudah cukup setimpal bahkan minimal. Sebab, dalam ketentuan KUHP Susrama malah sejatinya bisa dihukum mati karena melakukan pembunuhan berencana sebagaimana Pasal 340 KUHP.
Pembunuhan oleh Susrama dan kawan-kawan terhadap Prabangsa bukan bisa dibilang pembunuhan warga sipil biasa. Ia telah mencabut nyawa Prabangsa karena profesinya. Yakni seorang jurnalis yang sedang menjalankan kerja jurnalistik.
Pembunuhan yang dilakukan Susrama dengan demikian adalah upaya membungkam kemerdekaan pers yang telah dijamin dalam UU Pers maupun UUD 1945. “Kemerdekaan pers adalah bagian langsung dari demokrasi warga negara. Dengan demikian, pemberian remisi pada Susrama adalah upaya membunuh kemerdekaan pers,” ungkap Darmendra.
Catatan AJI dari tahun ke tahun, kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih terjadi. Bahkan, pada Tahun 2020 ada 84 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di Indonesia. Ini bukan hanya lebih banyak dari tahun 2019 yang mencatat 53 kasus, tapi menjadi jumlah paling tinggi. Terkait pembunuhan jurnalis, setidaknya ada 10 jurnalis terbunuh. Tidak semuanya bisa terungkap. Untuk itu, pengungkapan kasus pembunuhan Prabangsa merupakan salah satu tonggak penting atas kinerja banyak pihak. Termasuk adalah penegak hukum.
“Pemberian remisi terhadap Susrama juga bisa dikatakan dapat mementahkan hasil kerja pengungkapan kasus pembunuhan Prabangsa itu sendiri dan memukul mundur kemerdekaan pers,” pungkasnya.
Setali tiga uang, Ketua IJTI Bali Anak Agung Gede Kayika menyatakan sudah sepatutnya Susrama sebagai aktor intelektual pembunuh jurnalis diberi hukuman maksimal.
“Tidak ada lagi istilah memberi remisi kepada pelaku pembunuhan jurnalis. Jika remisi diberikan, itu menandakan lemahnya penegakkan supremasi hukum, khususnya bagi kebebasan pers,” tegasnya.
Pria asal Bangli ini meminta semua pihak terkait di pemerintahan agar tidak menerima remisi yang diajukan Susrama. Jika remisi dikabulkan, maka pemerintah mengancam kebebasan pers di tanah air. “Saya atas nama pribadi sebagai jurnalis dan organisasi sudah pasti menolak pengajuan remisi Susrama,” tandasnya.