Denpasar, Beritadewata.com – Gubernur Bali I Wayan Koster mengundang ketua dan pengurus Parisada Hindu Dharna Indonesia (PHDI) Bali, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) yang membawahi seluruh desa adat di Bali, para pemangku dan seluruh tokoh agama Hindu di Bali.
Gubernur Koster meminta penjelasan terkait menumpuknya jenazah di berbagai rumah sakit di Bali karena tidak mau diambil oleh keluarganya atau malah dititipkan oleh keluarga di rumah sakit. Sebagai contoh, di RSUD Mangusada Kabupaten Badung, Bali, saat ini ada 104 jenazah yang dititipkan sehingga ada 30 jenazah yang harus dititipkan di luar atau di halaman rumah sakit dengan menggunakan tenda-tenda darurat.
Belum lagi di rumah sakit lainnya di Bali yang tentu saja banyak jenazah yang dititip di rumah. Ada kepercayaan saat upacara Panca Wali Krama yakni upacara yang hanya dilaku 10 tahun sekali.
Setelah melakukan rapat, PHDI akhirnya mengeluarkan surat edaran resmi nomor 005/PHDI-Bali/I/2019. Dalam surat edaran tersebut disebutkan, sehubungan dengan pelaksanaan upacara Panca Wali Krama yang jatuh pada 6 Maret 2019, dan dengan merujuk pada Keputusan Pasamuhan Madya III PHDI Bali tahun 2018 nomor 01/Pesamuhan-Madya/PHDI-Bali/VIII/2018 tertanggal 16 Agustus 2018 tentang upacara Panca Wali Krama di Pura Agung Besakih tahun 2019.
Keputusan tersebut sudah ditetapkan sejak tahun lalu. Dan dalam keputusan tersebut tidak ada hal yang mengatur soal apakah jenazah itu bisa ditaruh di desa adat masing-masing atau tidak.
“Terkait dengan jenazah yang dititip rumah sakit. Ternyata sudah ada aturannya dari PHDI. Artinya, tidak mesti harus dititip di rumah sakit,” ujarnya. Untuk itu Koster meminta agar PHDI segera menyikapi kasus menumpuknya jenazah di rumah sakit di Bali.
Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan, terjadi kesalapahaman umat Hindu soal jenazah yang dititipkan di rumah sakit di Bali. “Ini terjadi kesalahpahaman oleh umat Hindu. Bahwa kalau ada upacara itu, jenazah tidak boleh berada di desa atau di rumah-rumah penduduk. Ini salah paham, sehingga jenazah keluarga yang ditingalkan dititipkan di rumah sakit. Ini tidak benar,” ujarnya.
Kesalahpahaman itu juga terjadi bahwa jika ada jenazah di rumah, maka sanak keluarga tidak dapat mengikuti upacara Panca Wali Krama di Pura Agung Besakih. “Ini juga tidak benar, sebab setelah jenazah itu dipendam (dikubur) atau dibakar maka keluarganya, atau desanya bisa mengikuti upacara seperti biasa,” ujarnya.
Untuk itu pihaknya meminta agar bagi sanak keluarga yang menitipkan jenazahnya di rumah sakit agar segera diambil untuk dikuburkan secara wajar di setra (tanah kuburan) di masing-masing desa.
Sementara Ketua MUDP Jero Gede Suwena Putus Uphadesa mengatakan, sebenarnya jenazah yang meninggal saat menjelang upacara Panca Wali Krama bisa dikuburkan seperti biasa. Sesuai dengan aturan yang ada, maka jenazahnya bisa dipendam (dikubur) sementara di kuburan masing-masing.
Jenazah itu bisa dikuburkan setelah matahari terbenam atau dikuburkan secara diam-diam. Ini berlaku untuk orang biasa. Sementara untuk orang-orang suci seperti pedanda, pemangku maka bisa di-makinsang megeni atau dibakar tanpa upacara.
“Masyarakat atau umat Hindu seharusnya paham, bahwa baik mependem (dikubur) atau dibakar itu bukan upacara ngaben. Yang dilarang itu hanya Ngaben. Ini harus dipahami,” ujarnya.
Menurut Jero Gede, setelah ini keluarga yang menitipkan jenazahnya di rumah sakit segera diambil dilakukan penguburan setelah matahari terbenam. Ini tidak ada masalah. Lagi pula jenazah itu bukan tempatnya di rumah sakit tetapi di kuburan. Jenazah yang kelamaan ditaruh di halamah rumah sakit seperti di RS Mangusada, bisa berdampak terhadap kesehatan. “Itu rumah sakit, bukan rumah untuk jenazah,” ujarnya.