DENPASAR, BeritaDewata – Setelah sebelumnya Gubernur Bali Wayan Koster mengirim surat penolakan reklamasi Pelabuhan Benoa ke PT Pelindo III, giliran DPRD Bali dan PHDI Bali akhirnya ikut menolak proses pembangunan Pelabuhan Benoa berupa dumping yang saat ini sudah mencapai 88,81 persen tersebut.
DPRD Bali melalui surat resmi yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama. Saat dikonfirmasi ke Sekretaris Dewan I Gede Suralaga, pihaknya membenarkan ada surat resmi dari DPRD Bali. “Ya, betul. DPRD Bali sudah mengirimkan surat resmi kepada PT Pelindo III. Surat tersebut sudah dikirim pada Senin (26/8),” ujar Suralaga.
Menurutnya, dalam surat tersebut ada 3 point penting yang perlu mendapat dari PT Pelindo III Benoa Bali. Pertama, dewan menyoroti dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan pelaksanaan pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa. Wilayah suci di sekitar Benoa menjadi terganggu. Bahkan, keindahan alam di sekitar Benoa sampai Teluk Benoa juga terganggu.
Kedua, dampak pengembangan Pelabuhan Benoa sudah tidak sejalan dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalu pola pembangunan semesta berencana menuju Bali era baru. Maknanya, kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya terganggu.
Ketiga, DPRD Provinsi Bali akan mendukung penuh langkah Gubernur Bali dalam menolak reklamasi di Pelabuhan Benoa. Reklamasi yang saat ini sedang diproses harus dihentikan total karena merusak lingkungan hidup.
Penolakan juga datang dari Ketua PHDI Prof I Gusti Ngurah Sudiana. Menurutnya, PHDI tidak pernah diajak diskusi soal berbagai pembangunan yang bersentuhan dengan entitas Bali terutama agama dan kesucian. Di Bali itu, wilayah laut adalah kawasan suci.
“Kami dari PHDI tidak pernah diajak diskusi. Kalau pun kami dimintai pendapat, sudah dipastikan kami akan menolak semua bentuk pembangunan yang mengurug laut, membongkar gunung dan sebagainya. Karena laut bagi orang Bali itu kawasan suci,” ujarnya.
Terkait kasus di Pelabuhan Benoa, Sudiana mellihatnya bahwa, akibat proses pengerjaan itu banyak hal yang dikorbankan. Selain luas lahan mangrov sebanyak 17 hektar rusak, vegetasi pesisir juga hilang atau hancur, tetapi yang paling penting adalah kawasan suci Pura Sakenan juga akan terancam.
“Sudah pasti radius kawasan suci untuk Pura Sakenan akan terganggu akibat proses pelaksanaan perluasan kawasan Pelabuhan Benoa tersebut. Jadi kami menolak reklamai itu dan mendukung Gubernur Bali menolak reklamasi tersebut,” ujarnya.
Kalau dari sisi agama, semua laut itu dilarang reklamasi. Laut diyakini sebagai tempatnya Dewa Baruna dan sebagai tempat untuk melakukan upacara melasti. Juga dalam kepercayaan Hindu, laut juga bisa mendatangkan penyakit dan kemakmuran. Ketika laut terganggu maka alam pun terganggu. “Selama ini dari Pelindo III tidak pernah berkonsultasi dengan PHDI. Kami sangat menyayangkan hal itu. Yang jelas yang mengurug itu tidak benar,” ujarnya.
Ketua Majelis Desa Adat Bali Ida Panglinsur Agung Putra Sukehet mengatakan, hingga saat ini Majelis Adat Bali mendukung penuh langkah Gubernur Bali untuk menghentikan reklamasi. “Sejak tahun 2012 sudah proses. Sementara Gubernur Koster baru menjabat setahun lebih. Kemudian ditemukan bahwa faktanya biota laut rusak, mangrov rusak, proses teknisnya salah. Kami mendukung penuh langkah itu,” ujarnya.
Bali itu tidak berorientasi materi saja. Uang saja tidak cukup. Tetapi taksu Bali, budayanya, adatnya, lingkungannya harus terjaga dengan baik. Bila tidak, maka Bali akan hancur. “Apakah disetop itu, kalau memang Pelindo yang benar, silahkan proses saja. Kalau sebalaiknya maka aspek hukum yang akan berbicara,” ujarnya. Berdasarkan aspirasi masyarakar, maka reklamasi itu harus dihentikan. Ini menjadi perseden buruk terhadap Bali.