Denpasar – Bali itu identik dengan budaya dan berbagai atraksinya. Bali juga tidak memiliki sumber dara daya alam lain selain pariwisata budaya. Tanpa budaya, pariwisata Bali itu akan kehilangan rohnya. Untuk itu semua pihak, pemerintah, swasta, pelaku pariwisata terutama, harus paham betul bahwa tanpa budaya ini akan kehilangan rohnya, kehilangan identitasnya yang sebenarnya.
Lalu pertanyaanya, bagaimana agar warisan budaya itu tetap terlestari, tetap ajeg, tetap terjaga dengan baik? Jawaban bisa bermacam-macam. Namun hanya yang pasti, yakni perkuat desa adat atau desa pekraman. Desa adat di Bali adalah benteng terakhir penjaga budaya Bali. Hancurnya desa pakraman Bali, maka hancurlah Bali itu sendiri bersama budayanya yang adiluhung.
Pekraman menjadi benteng dalam menyelamatkan dan mengembangkan seni budaya Bali di tengah perkembangan pariwisata yang pesat, dengan harapan warisan seni budaya yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan tetap kokoh dan lestari. Hal ini sangat penting, karena desa adat di Bali merupakan satu persekutuan hukum adat yang diakui dalam kerangka kehidupan bernegara. Regulasinya juga sudah diatur, yakni Perda Daerah Tingkat I Bali, No.6 tahun 1986.
Desa adat selama ini memegang peranan yang amat penting dalam menata dan membina kehidupan masyarakat desa adat, maupun dalam proses pembangunan. Untuk masa mendatang, desa adat mempunyai fungsi untuk menata kehidupan masyarakat desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berkaitan dengan hukum adat dan kebudayan Bali.
Pasangan calon Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra-I Ketut Sudikerta (Mantra-Kerta) rupanya sudah melihat jauh ke depan. Mantra-Kerta rupanya sudah melihat peran penting desa adat atau desa pakraman. Desa adat tidak boleh menjadi bagian terpisahkan dari program pemerintah tetapi sebaliknya, dijadikan landasan bagi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Mantra-Kerta menilai ada peran sentral desa adat dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa yang bisa disebutkan antara lain membina dan mengembangkan nilai-nilai agama Hindu dan kaidah hukum adat di tengah-tengah masyarakat desa adat, menyelesaikan sengketa adat (perkara-perkara adat), mengusahakan perdamaian dan memberikan kekuatan atau hukum terhadap status, hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan menurut hukum adat yang berlaku dan terakhir yang paling penting adalah mengembangkan kebudayaan masyarakat desa adat, dalam usaha melestarikan kebudayaan daerah dalam rangka memperkaya khasanah kebudayaan bangsa.
“Kami menilai bahwa fungsi-fungsi desa adat di Bali sangat vital baik untuk menjaga, melestarikan, mengembangkan budaya Bali maupun membantu program pemerintah dalam membangun manusia yang seutuhnya. Maka kami ingin agar desa adat memiliki peran lebih. Untuk itu kami menggelontorkan dana untuk desa adat sebanyak Rp 500 juta pertahun,” ujar I Ketut Sudikerta, Cawagub Bali dari Pecatu.
Menurutnya, Mantra-Kerta sudah melihat jauh ke depan. Kokohnya seni budaya Bali akan tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi turis untuk berliburan ke Pulau Dewata. Atas dasar cukup strategisnya keberadaan desa adat di Bali terus diberdayakan dengan harapan mampu menangkal dampak negatif dari perkembangan pariwisata. Sudikerta sendiri melihat, perkembangan bantuan desa ada masih terlalu kecil.
“Sebelumnya, hanya Rp 50 juta pertahun. Kemudian saat saya menjadi wakil gubernur, naik menjadi Rp 225 juta pertahun. Kita berpikir ini masih kecil. Ada yang mengusulkan Rp 300 juta pertahun. Ini juga masih kecil. Kami ingin naik menjadi Rp 500 juta pertahun. Ini baru reasonable walau pun di sana-sini masih kurang,” ujarnya.
Saat ini ada 1488 desa adat di Bali dengan kondisi ekonomi dan geografi yang bervariasi. Ada desa adat yang terletak di daerah kaya, daerah pariwisata.