DENPASAR, BeritaDewata – Kasus sengketa lahan gugatan almarhum Frans Bambang Siswanto (FBS) dengan I Made Sumantra (MS) dan gugatan intervensi Hotel Mulia kini menggelinding panas. Nampaknya, bayangan kutukan dilontarkan Sumantra terbawa pada kasus perdata. Kata-kata kesengsaraan diucapkan kepada pihak menzolimi, berlahan membuka tabir selama ini tidak terlihat.
Meninggalnya FBS dalam kasus ini dimana gugatan harus gugur namun hakim tetap memutus lanjut dikatakan I Wayan Adimawan, SH.MH selaku kuasa hukum MS dianggap sebagai pesan karma.
Bahwa, perjanjian kemufakatan dibuat tahun 1993 yang sebelumnya dalam sidang pidana dikatakan mati-matian ditutupi pihak mendiang FBS malah sekarang muncul ke permukaan. Bagaimana saat itu pembelaan diabaikan, hingga lontaran kutukan menggema di ruang sidang.
“Hukum Tuhan memang tidak terbantah. Kejadian dalam persidangan sudah digariskan. Bagaimana pun kebenaran dikaburkan akan muncul pada waktunya. Semakin disembunyikan semakin menggali lubang. Seleksi alam sedang berjalan. Kutukan pak made akan menguji kualitas pengadilan. Mungkin ini waktunya. Sekarang,” tegas Adimawan.
Disinggung alasan hakim melanjutkan perkara ini menurut pihaknya lantaran ada berapa unsur memenuhi putusan. Pengacara ini merasa heran, perkara seolah digariskan tidak bisa dihentikan. Diperkirakan kasus perdata ini menjadi hidup serta berkepanjangan lantaran kecerobohan.
Analisis saya, dapat dilihat dalam pasal 148 Rgb/124 HIR tentang GUGUR, apabila pada hari yang telah ditentukan penggugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatannya dinyatakan gugur dan ia dihukum membayar biaya perkara, tetapi ia berhak untuk memajukan gugatan sekali lagi, setelah ia membayar lebih dahulu biaya tersebut,” ungkap pengacara yang akrab disapa Tang
Jika dilihat pasal ini artinya penggugat asal hadir melalui permintaan ahli waris (syarat formil terpenuhi untuk tidak gugurnya gugatan). Sehingga kami tergugat asal berhak untuk memberikan tanggapan sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 275 RB.g/239 HIR.
“Herannya kami, saat sidang tgl 15 oktober 2019 para penggugat tidak hadir atau kuasa yang mewakili, sehingga dianggap gugur permintaanya tentu sebagaimana bunyi pasal pasal 279 R.Bg/234 HIR ,Jika orang yang meminta itu tidak menghadap, maka permintaan itu dianggap gugur.
Kalau hadir para penggugat asal mungkin saja majelis hakim bisa mengabulkan perkara 414/pdt.g/2019 digugurkan karena berpedoman pada yurisprudensi MA No. 431K/Sip/1973 tanggal 9 Mei 1974 tentang gugurnya perkara karena meninggalnya penggugat asal dan tidak setujunya semua ahli waris melanjutkan perkara,” tuturnya
Pengacara lulusan Universitas Indonesia (UI) ini berpendapat, jika sepenggal saja dibaca tentu akan menjadi analisa kacamata kuda. Dikatakan, hukum di lndonesia adalah sistem mixed legal (hukum campuran) tidak anglo saxon/common law tidak pula penganut garis eropa continental, tentu kaidah atau norma harus dibedah dalam teori hermeneutika hukum. Yaitu ajaran filsafat mengenai hal memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks dimana metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Sehingga bertalian erat norma satu dengan yang lain dengan konteks dan kontekstualitas peristiwa hukum.
Tang beranggapan menang atau kalah dalam berperkara itu sudah lumrah. Pihaknya mengaku termotivasi mendampingi MS ingin mengungkap kebenaran berpuluh tahun sudah terpendam. Ketika MS meminta haknya untuk masa tua harus diperkarakan pidana. Selain itu dorongan hati naluri sebagai seorang pengacara muda melihat MS sudah renta dan cacat yang sekarang tidak memiliki apa apa sebagai anak dari seorang pejuang kemerdekaan. Ditambahkan, visinya bukan menang atau kalah namun berupaya mengungkap kebenaran.
Disinggung terkait permohonan kasasi MS dikabarkan ditolak dalam pemberitaan berapa media ditanggapi santai. “Ya namanya juga upaya untuk menggugurkan kemufakatan. Celah satu-satunya, ya kasasi MS harus ditolak bagaimanapun caranya. Drama kasus ini justru semakin jelas dari awal. Tujuannya apa, siapa yang bisa melakukan ini dan siapa diuntungkan ? Nanti teman-teman media silahkan menyusuri,” pinta Tang.
Ia mengaku mendapat suntikan semangat dengan diberitakan banyak media terkait perkara ini. Pihaknya meyakini kasus ini akan dikawal wartawan sampai selesai.
“Ya, kita kawal sama sama. Teman teman media saya harap dapat menyusuri kasus ini dari awal untuk mengungkap fakta sebenarnya. Bagaimana kemufakatan saat pidana berusaha tidak dimunculkan dan berlanjut malah digugat perdata masih dalam upaya kasasi. Dan kenapa MS berani menjual seluruh tanah tersebut, pasti ada dasar.
Harus diketahui MS membeli tanah eks Nyoman Endang seluruhnya seluas 11.800 m2 berdasarkan Akta Jual Beli No 81 Tahun 1990 di Notaris Ngurah Putra Wijaya lunas sehingga sertifikat atas nama MS sah. Dan MS baru tahu tahun 2018 ternyata sertifikat pertama dibawa FBS. Kenapa bisa hanya PPJB 5.900 M2 membawa sertipikat luas 11.800 M2 diketahui MS setelah diperiksa sebagai tersangka di Polda Bali ? Begitu juga dalam persidangan pidana eks pemilik awal kenapa tidak dihadirkan untuk bersaksi? Ini teman-teman media bisa cari tahu dan diungkap. Baca saja dalil saya untuk jawaban gugatan intervensi, semuanya jelas disana,” tutup Adimawan.
Diketahui, dalam pemberitaan sebelumnya, karena merasa di Zolimi dalam persidangan, I Made Sumantra (74) mantan ketua HIPMI Bali era 1980 yang sudah terbilang usia uzur melontarkan kutukan. Aksi yang terbilang jarang terjadi dalam persidangan ini membuat ngeri mendengar.
Pasalnya, pada sidang pertama pada Kamis, 21 Februari 2019. Setelah didakwa 4 tahun pidana yang dibacakan hakim, dikatakan kuasa hukumnya kakek ini saat membacakan pembelaan dirinya dan terlontar ucapan menyumpahi para pihak yang dianggap berlaku zolimi pada dirinya.
“Merinding mendengar ucapan orang tua terbilang sudah bau tanah itu. Suasana sidang menjadi hening, begitu juga yang hadir, saya lihat, diantaranya menghela nafas,” ungkap I Wayan Adimawan SH.,MH, melalui rilis yang diterima Redaksi, Senin (28/4/2019)
Ditunjuk sebagai kuasa hukumnya, pengacara akrab dipanggil Tang ini mengaku terus berusaha melakukan upaya hukum sampai tingkat kasasi. “Saya sangat prihatin, ada indikasi pihak tertentu berusaha melakukan kompromi hukum agar kebenaran tidak terungkap,” ucapnya.
Pihaknya tidak menyangka, kliennya sampai melontarkan kutukan, menyumpahi pihak yang dianggap telah menzolimi dirinya akan mengalami keadaan sama sampai tujuh turunan.
“Siapun yang menzolimi saya di dalam persidangan ini, akan menimpa nasib yang sangat mengenaskan selama tujuh turunan. Setelah itu lalu surat pembelaan terdakwa diserahkan ke ketua majelis hakim,” jelas Adimawan menirukan ucapan I Made Sumantra saat persidangan.
“Mengingat kejadian itu, saya ngeri seperti benar terjadi. Bukan mempolitisir, satu sisi kita sebagai manusia yang punya hati pasti merasa prihatin. Apalagi yang diperjuangkan adalah haknya sendiri bukan hak orang lain untuk hari tua,” ingatnya.