Denpasar – Pencoblosan Pilgub Bali 2018 tinggal dalam hitungan hari. Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Bali nomor urut 2, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra dan Ketut Sudikerta (Mantra-Kerta) dalam hasil survei lembaga survei independen terpercaya menunjukkan unggul atas lawannya.
Penasehat Koalisi Rakyat Bali (KRB), Made Mudarta dalam keterangannya di Denpasar, Selasa (5/6/2018) menyatakan dalam survei, pasangan calon nomor urut 2 (Mantra Kerta ) unggul 6,4 % atau 53,2 % suara dibandingkan dengan paslon nomor urut 1 dengan jumlah swingvoter atau pemilih yang belum menentukan pilhan 14,8 %.
“Jika pada hari pencoblosan 27 Juni 2018 pemilih yang belum menentukan pilhan (14,8 %) terbagi merata secara proporsional antara paslon nomor urut 1 dan 2 maka sudah dapat dipastikan Mantra-Kerta sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk memimpin Provinsi Bali 2018-2023,” ucap Mudarta.
Menurut Mudarta, dari sisi peraturan per undang-undangan yang berlaku yaitu dengan selisih kemenangan dengan persentase sebesar 6,4 % tidak bisa digugat di Mahkamah Konstitusi yakni karena jumlah selisih perolehan suara lebih besar dari 1,5 %.
“Sementara yang bisa digugat ke MK manakala selisih perolehan suara lebih kecil dari 1,5 % untuk pilgub Provinsi Bali,” jelasnya.
Populasi survei ini, kata Mudarta adalah seluruh warga negara indonesia di Provinsi Bali (di 9 Kabupaten/Kota seluruh Bali) yang punya hak pilih dalam Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah 27 Juni 2018, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun keatas atau sudah menikah ketika survei dilakukan yang memiliki e-KTP atau suket.
Jumlah sampel sebanyak 1.200 orang yang dipilih dengan metode multistage random sampling dengan jumlah proporsional. “Toleransi kesalahan (margin of error) survei diperkirakan plus minus 2,9 % pada tingkat kepercayaan 95 %,” ulasnya.
Potensi kecurangan
Dalam rangka mengawal hasil survei dan mengamankan suara saat pencoblosan dan penghitungan suara, Tim Pemenangan Mantra-Kerta terus menyiapkan langkah strategis.
Untuk itu sejumlah relawan yang tergabung dalam Poros Muda menggelar diskusi bertajuk “Mengawal Pilkada Bali yang Bersih, Jujur, Adil, Â dan Bermartabat” di Warung Bendega Denpasar, Selasa (5/6/2018) tampil sebagai pembicara Ketua Badan Pengamanan Saksi Koalisi Rakyat Bali (KRB) I Gusti Putu Wijaya.
Dalam pemaparannya Wijaya menekankan mengenai modus operandi kecurangan baik sebelum, saat dan setelah pencoblosan. Politisi Golkar ini menekankan ada beberapa modus kecurangan saat pencoblosan.
Pertama, pembagian surat undangan mencoblos (C6) tidak terdistribusi dengan baik. Menurut Wijaya berdasarkan pengamatan dari waktu ke waktu C6 yang tidak terbagikan bisa mencapai 30 persen. “Formulir C6 ini sering disalahgunakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk melakukan kecurangan,” kata Wijaya.
Kadang pemilih menjadi apatis hanya karena tidak mendapat C6. Walau bisa mencoblos mengunakan KTP tapi tidak cukup membantu, karena waktunya terbatas, setelah pukul 12.00 Wita.
Kedua, kecurangan dari sisi letak bilik suara. Dimana bilik suara berada pada posisi yang sulit terpantau. Demikian pula dengan letak kotak suara.
Ketiga, saat perhitungan suara tidak diperkenankan surat suara ditumpahkan sekaligus. Kerapkali saat ditumpahkan sekaligus lalu dibuka untuk mengetahui apa yang dicoblos pemilih. Penghitung suara yang curang akan merusak suara dengan menekan kukunya ke surat suara sehingga jadi tidak sah.
Keempat, intimidasi di luar TPS. Intimidasi adalah pola kecurangan yang sering terjadi. Di mana ada orang tidak bertanggung jawab memaksakan pilihan pada paslon tertentu. Intimidasi dapat mrnimbulkan rada takut sehingga batal mencoblos paslon yang didukung atau keengganan datang ke TPS.
Kelima, tata letak dibuat sedemikian rupa sehingga saksi memunggungi papan perhitungan C1 Plano. Sehingga meskipun disebut nomor paslon tertentu tapi yang ditulis perolehan suara paslon lain.
Keenam, pemanggilan pemilih tanpa  menyebut nama. Kemungkinan yang memilih tersebut adalah joki. Karena itu saksi berhak mendapat daftar pemilih tetap dari KPPS. Sehingga antara daftar pemilih dan orang yang mencoblos sesuai.
“Nama pemilih wajib disebutkan, karena saksi juga berhak meminta daftar pemilih. Jika tidak diberikan maka bisa dipersoalkan,” kata Wijaya. Ketujuh, letak formulir C1 yang tidak terlihat saksi.
Kedelapan, penulisan C1 plano tidak sesuai formulir C1. Padahal C1 plano yang akan digunakan untuk perhitungan di tingkat kecamatan. Apabila tidak sesuai maka dapat dipastikan telah terjadi penyimpangan-penyimpangan.
Wijaya mengatakan berbeda dengan tahun sebelumnya, saat ini Bawaslu menempatkan pengawas sampai ke tingkat TPS. Hal ini untuk memastikan pilkada dapat berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan dan adil (luber dan jurdil). Masyarakat juga diharapkan berpartisipasi aktif mengawasi jalannya pencoblosan.
“Mari kita awasi bersama-sama sehingga kedaulatan rakyat dalam menyampaikan suara sesuai undang-undang dapat berjalan baik tanpa adanya kecurangan,” kata Wijaya. RL/BD