DENPASAR – Sekitar 4 ratus mahasiswa Universitas Dhyana Pura Bali menggelar talkshow dan diskusi publik bertajuk “Radikalisme dalam Agama di Indonesia” di Aula Kampus Dhyana Pura Bali, Rabu malam (29/11). Diskusi tersebut dibuka langsung oleh Rektor Universitas Dhyana Pura DR dr Mande Nyandra Sp.KJ.,M.Repro. Hadir pada kesempatan itu antara lain Wakil Rektor 1 I Gusti Bagus Rai Utama, Wakil Rektor 2 Wayan Ruspendi Junaeidi, Kepala Lembaga Pengembangan Metode Pembelajaran (LPMP), Dosen Agama Dermawan Waruwu dan segenap civitas akademik Kampus Universitas Dhyana Pura lainnya.
Sementara Narasumber yang diundang adalah Tokoh dari Muslim Haji Musthofa Al Amin dengan makalah berjudul “Radikalisme dalam Perpektif Agama Islam” dan pembicara dari Gereja Katolik Arnold Dhae yang mempresentasikan materi “Radikalisme dalam Persepektif Gereja Katolik,”. Diskusi berlangsung sangat panas yang dipimpin oleh moderator Pendeta Wayan Damayana.
Rektor Universitas Dhyana Pura Made Nyandra menjelaskan, situasi Indonesia akhir-akhir ini diresahkan oleh sikap intoleransi, radikalisme yang mengatasnamakan agama tertentu dengan dalil ingin memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Namun upaya itu ternyata mendatangkan banyak persoalan dan bisa mengganggu stabilitas politik di Indonesia. “Bagaimana dengankalangan kampus. Bagaimana dengan mahasiswa. Bukan tidak mungkin radikalisme itu datang dari kalangan kampus, dari kaum terpelajar dan intelektual. Itulah sebabnya tema diskusi kita adalah soal Radikalisme.
Kita ingin belajar tentang bagaimana muncul ajaran itu dari berbagai agama. Memang kali ini dua agama yang kita undang yakni Katolik dan muslim. Nanti kita juga akan undang agama lainnya. Tujuannya agar mahasiswa tahu, kenapa radikalisme itu muncul, dan bagaimana mengantisipasinya,” ujarnya. Kepala LPMP Christimulia Purnama Trimurti mengatakan, dalam diskusi ini mahasiswa diberikan wawasan luas soal agama dengan sejarah gelapnya. “Mahasiswa harus tahu dimana radikalisme itu muncul, dan bagaimana melakukan antisipasinya, terutama harus tumbuh dari dirinya sendir,” ujarnya.
Pembicara dari Gereja Katolik Arnold Dhae menjelaskan, dalam Gereja Katolik, radikalisme itu sudah ada sejak awal. “Dari sisi etimologisnya, radikalisme itu sebenarnya dibutuhkan dan sangat positif, memiliki tujuan mulia yaitu perbaikan tatanan kehidupan sosial politik sampai ke akar-akarnya. Namun hal ini disalahartikan, sehingga yang muncul adalah sikap fanatisme, fundamentalisme dan bahkan terorisme,” ujarnya.
Ia mengakui jika Gereja Katolik dalam sejarahnya pernah melakukan hal serupa. Sejarah membuktikan, gereja pernah jatuh dalam sikap fanatisme dan fundamentalisme. Gereka mengklaim diri sebagai yang paling benar, pemegang pintu kerajaan surga, dan di luar gereja tidak ada keselamatan. Sikap ini sudah dihilangkan dengan Konsili Vatikan II yang berakhir tahun 1965 dan mengakui bahwa di luar gereja ada keselamatan, ada kebenaran yang harus dihormati dan dihargai.
Sementara Pembicara Muslim Haji Musthofa Al Amin mengatakan, radikalisme itu juga ada dalam muslim. Sikap ini ditujukan dengan mengklaim agama islam yang paling benar dan yang non islam itu salah semua. “Lebih mengerikan lagi, ada kelompok yang memperjuangkan hal ini dengan cara kekerasan. Aksi teror di Indonesia selalu identik dengan orang muslim,” ujarnya. Padahal sikap itu sesungguhnya tidak dibenarkan. Islam adalah pembawa rahmat bagi seluruh alam semesta. Bagaimana mungkin kalau Islam itu adalah pembawa rahmat bagi alam semesta tetapi membunuh, melakukan tindakan kekerasan. “Ini tafsir secara tekstual yang salah kaprah dan melenceng dari makna yang sebenarnya,” ujarnya. Untuk konteks Indonesia, ini menjadi sangat penting. Indonesia sudah memiliki 4 pilar kebangsaan. “Ada Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Di luar empat pilar ini akan sangat mengganggu sikap toleransi dan sebagainya,” ujarnya. Umat muslim di Indonesia harus benar-benar muslim dan benar-benar Indonesia.