DENPASAR, BERITADEWATA – Aliansi Mahasiswa Bali untuk Lingkungan Hidup (AMB-LH) layangkan kritik kepada Forest Stewardship Council (FSC). Organisasi non profit yang memiliki komitmen menjaga sumber daya hutan di dunia.
Kritikan AMB-LH yang terdiri dari kumpulan mahasiswa tersebut berdasar pada pengalaman dan fakta yang terjadi di lapangan. Aliansi menilai FSC semakin jauh dari visi misinya.
AMB-LH mengadakan aksi membagikan selebaran kepada para peserta FSC General Assembly di Westin Hotel, Nusa Dua, Bali pada Senin (10/10/22).
FSC dalam laman https://id.fsc.org/id-id/tentang-fsc mengklaim sebagai pengembang standar pengelolaan hutan berkelanjutan yang paling terpercaya di dunia dan pelopor asli sertifikasi hutan.
Sementara itu, misinya adalah untuk mempromosikan pengelolaan hutan dunia yang sesuai dengan kaidah lingkungan, bermanfaat secara sosial dan ekonomis.
Juru bicara AMB-LH, Ni Luh Putu Meriandani menyebut FSC telah bertindak inkonsisten. Ia bersama aktivis lainnya mengamati ada perusahan yang mendapat sertifikat FSC, namun tidak jelas apakah mereka benar-benar mengelola hutannya secara berkelanjutan.
“Setelah diserang kritik oleh berbagai LSM, FSC membatalkan sertifikat tersebut. Karena pembatalan tersebut baru dilakukan setelah kritik keras, ini berarti sistem FSC gagal, FSC telah bertindak inkonsisten,” ungkapnya.
Baca juga: Pemprov Bali Akan Akomodir Jenis Cadangan Pangan Selain Beras
“Kami melihat FSC melakukan asosiasi dengan perusahaan, lalu disasosiasi. Mungkin nanti berasosiasi kembali, dan kemudian mungkin berdisasosiasi kembali.”
Pertanyaannya, apakah yang berubah? Apakah perusahaan tiba-tiba berhasil mengelola hutannya dengan lestari? Atau tiba-tiba gagal mengelola hutan lestari?
Puluhan tahun praktek FSC membuat banyak aktivis lingkungan yang konsisten idealismenya pergi dari FSC. Contohnya FERN (2011), Friends of the Earth UK (2008), ROBINWOOD (2009), the Swedish Society for Nature Conservation (SSNC) (2011), Rainforest Rescue, dan Association for the Ecological Defence of Galicia (ADEGA).
Mana kala dikaitkan dengan permasalahan konversi hutan alam, AMB-LH semakin menyangsikan apakah FSC memang mempedulikan hutan, atau lagi-lagi bisnis dan fulus yang menjadi prioritas lebih penting bagi FSC.
“Ketika Greenpeace Internasional masih menjadi anggota FSC, FSC sikapnya konsisten menolak konversi hutan dengan penuh ketegasan tanpa mau berkompromi dengan segala rupa usulan kompensasi,” terang Ni Luh Putu Meriandani.
Ia menegaskan, secara prinsip organisasi yang bersertifikat harus menjaga dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta pekerjanya. Baik secara ekonomi dan penilaian lainnya melalui kesetaraan gender, kesehatan dan keamanan, juga upah yang sesuai.
“Kami sebagai generasi muda yang akan mewarisi hutan dunia pastinya wajar mempertanyakan FSC ini serius menjaga hutan menjaga rakyat atau hanya bisnis dan fulus saja orientasinya?”
AMB-LH berharap tidak ada lagi kepentingan lain dibalik sertifikasi hutan. Terlebih upaya kesewenang-wenangan terhadap pengelolaan hutan yang berakibat buruk terhadap keberlanjutan lingkungan hidup di masa yang akan datang.