Laboratorium Kesehatan Ikan Indonesia Jadi Referensi Dunia

Kuta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyiapkan 2 (dua) kandidat laboratorium kesehatan ikan sebagai acuan internasional. Kedua laboraorium tersebut yakni, Laboratorum Kesehatan Ikan pada Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi sebagai acuan untuk deteksi penyakit Koi Hervest Virus (KHV), dan Laboratorium Kesehatan Ikan pada Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo untuk rujukan penyakit udang.

Badan Kesehatan Hewan Dunia /OIE (The World Organisation for Animal Health) memfasilitasi ke dua laboratorium tersebut melalui Twinning Program. Untuk pendeteksian KHV, BPBAT Sukabumi bekerjasama dengan National Research Institute of Aquaculture Fisheries Research Agency (MIE-Jepang). Sedangkan untuk penyakit udang BPBAP Situbondo akan bekerjasama dengan Laboratory of Aquaculture, Universitas Arizona, Amerika Serikat sebagai Parent Laboratory.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, dalam keterangannya di Kuta Bali, Senin (28/8) mengatakan, dukungan OIE terhadap Indonesia dalam memfasilitasi pengembangan laboratorium kesehatan ikan berskala Internasional memberikan dampak yang sangat penting, utamanya dalam meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia di kancah perdagangan global saat ini.

“Dukungan OIE untuk Indonesia dalam memfasilitasi 2 Laboratorium milik KKP sebagai acuan internasional akan memberikan dampak yang sangat positif bagi peningkatan daya saing produk perikanan budidaya khususnya ikan hias koi dan udang di pasar global. OIE tentunya telah mempertimbangkan bahwa sebagai negara produsen perikanan budidaya terbesar ke dua dunia, Indonesia memiliki peran strategis dalam menopang ketahanan pangan global di masa yang akan datang”, ungkap Slamet.

Ajang workshop tersebut juga dihadiri oleh beberapa negara diantaranya Jepang, Thailand dan Korea Selatan. Ia mengungkapkan bahwa isu penyakit dalam bisnis akuakultur telah secara nyata mengakibatkan trade barrier dalam siklus perdagangan perikanan global saat ini. Oleh karenanya setiap negara mulai memperketat persyaratan teknis terhadap lalu lintas seluruh produk perikanan budidaya.

Upaya tersebut antara lain melalui penerapan risk analysis importasi secara ketat ketat. Dirinya mencontohkan, fenomena merebaknya penyakit KHV pada ikan mas termasuk ikan hias koi di berbagai negara di dunia, telah secara nyata menurunkan transaksi bisnis perdagangan koi di dunia termasuk Indonesia. Oleh karenanya, saat ini perdagangan Ikan koi di dunia memerlukan persyaratan bebas dari penyakit KHV, dimana persyaratan ini diperoleh secara terbatas, karena saat ini baru ada 2 acuan laboratorium yang diakui dunia yakni di Jepang dan Inggris.

Demikian halnya dengan komoditas udang. Pasar udang dunia mensyaratkan adanya bukti legal hasil uji bebas penyakit dari laboratorium yang ditunjuk oleh OIE. Padahal menurut Slamet, saat ini laboratorium acuan hanya tersedia di luar negeri seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris dan ini cukup memberatkan pelaku usaha dalam negeri.

Ada 2 (dua) keuntungan yang dapat dipetik Indonesia jika kedua laboratorium ini menjadi acuan OIE. Pertama, laboratorium akan terstandar secara internasional, sehingga tingkat presisi pengujian sangat tinggi. Kedua, keberadaannya akan dapat memfasilitasi akses perdagangan internasional, misalnya Indonesia dapat mengeluarkan sertifikat bebas KHV dalam perdagangan koi dunia.

Saat ini ke dua laboratorium di Sukabumi dan Situbondo terus melakukan upaya-upaya untuk memenuhi persyaratan standar internasional yakni mencakup persyaratan teknis, prosedur, peralatan dan penguatan sumberdaya manusiannya. Diharapkan tahun 2018 ke dua laboratorium tersebut dapat lulus sebagai satu satunya laboratorium acuan OIE di Indonesia.

“Saya optimis ke-dua laboratorium yang kita rekomendasikan akan lulus dalam Twinning Program ini, sehingga akan menjadi laboratorium pertama di Indonesia yang diakui Badan Kesehatan Hewan Dunia dan berskala internasional. Nantinya hasil uji dari Laboratorium ini akan menjadi acuan bagi keberterimaan produk perikanan budidaya Indonesia, karena hasilnya diakui oleh Badan Perdagangan Dunia/World Trade Organization (WTO)”, pungkas Slamet.

Dalam kesempatan yang sama, Hirofumi Kugita, Representatif OIE untuk Asia-Pasifik yang turut hadir dalam workshop “The OIE Twinning Laboratory Project, di Bali, mengatakan bahwa OIE sangat mendukung munculnya laboratorium kesehatan ikan berskala internasional di Indonesia. Menurutnya, twinning program ini sudah sangat tepat dan diharapkan akan berjalan dengan semestinya, mengingat Indonesia saat ini sangat diperhitungkan dalam perdagangan perikanan di dunia.

“Indonesia sudah sepatutnya memiliki laboratorium rujukan yang diakui WTO, dan saya kira semua negara di dunia sangat berkepentingan dengan Indonesia, utamanya peran Indonesia ke depan sebagai pemasok kebutuhan ikan bagi masyarakat global. Untuk itu penting bagaimana menjamin sustainability tetap terjaga melalui deteksi dini,’ ungkap Hirofumi. Sementara itu tahun 2016 volume produksi ikan hias koi nasional tercatat sebanyak 404.329.000 ekor. Angka ini diprediksi akan terus meningkat seiring upaya pemerintah yang terus mendorong penguatan daya saing usaha budidaya ikan hias nasional.

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here