KKP Perketat Pengawasan Penyakit Ikan Budidaya

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto

Kuta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) menjamin jika hingga saat ini ikan budidaya yang ada di Indonesia belum terkontaminasi berbagai jenis penyakit sebagaimana yang sudah dialami ikan budidaya di beberapa negara di dunia. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto saat ditemui di Kuta Bali, Senin (28/8) menyampaikan, saat ini pihaknya terus berupaya agar potensi ikan budidaya terihindar dari gangguan penyakit agar produksi ikan budidaya tidak terganggu.

Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan pada tahun 2017 ditargetkan mampu mencapai 9% dan dapat terus meningkat setiap tahun. Salah satu yang diharapkan dapat memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap pertumbuhan PDB sektor perikanan yaitu kegiatan ekonomi di bidang perikanan budidaya. Oleh karena itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berupaya untuk meningkatkan produksi perikanan budidaya setiap tahunnya. Hingga tahun 2019, KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) menargetkan produksi mampu mencapai 31,3 juta ton.

Menurut Slamet, salah satu faktor penentu tercapainya target produksi perikanan budidaya tersebut tidak terlepas dari kemampuan untuk mencegah dan mengendalikan berbagai penyakit ikan.‬ Berbagai kebijakan dan langkah pencegahan dan pengendalian penyakit ikan telah dilakukan oleh DJPB, sehingga sampai saat ini Indonesia mampu terus meningkatkan produksi perikanan budidaya. Produksi perikanan budidaya dari tahun 2011-2015 rata – rata mengalami kenaikan sebesar 19,08%.‬

‪“Produksi perikanan budidaya setiap tahun terus meningkat, peningkatan tersebut tidak terlepas dari semakin kondusifnya iklim usaha budidaya baik secara regulasi, kemudahan perizinan, infrastruktur yang semakin membaik dan kemampuan kita untuk terus mencegah dan mengendalikan berbagai penyakit ikan yang dapat mengancam usaha budidaya,” ungkap Slamet.

Sebagaimana diketahui bahwa KKP telah menetapkan kebijakan penerapan Good Hatchery Practices (GHP), Good Aquaculture Practices (GAP), serta monitoring residu di tingkat nasional sebagai langkah pencegahan dan pengendalian penyakit maupun kontaminan pada ikan untuk menjamin kesuksesan usaha budidaya dan menjadi tool untuk mewujudan jaminan produk perikanan budidaya Indonesia aman untuk dikonsumsi.‬

“Saat ini Indonesia masih bebas dari penyakit yang menyerang udang yaitu white feses dan acute hepatopankreas necrosis disease (AHPND) dan juga Tilapia Lake Virus (TiLV) yang menyerang ikan dari jenis Tilapia dan saat ini tengah hangat dibicarakan. Hal ini dapat terwujud karena Indonesia telah menerapkan tindakan pencegahan, biosecurity yang ketat dan tindakan pemeriksaan karantina ikan di pintu masuk dan keluar baik untuk keperluan dalam negeri maupun luar negeri,” tambah Slamet.‬

Selain itu, KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah mengeluarkan surat edaran nomor 3975/DJPB/VII/2017 tanggal 14 Juli 2017 tentang Pencegahan dan pemantauan terhadap Penyakit TiLV pada Ikan Nila. Dalam edaran ini disebutkan langkah – langkah pencegahan dan pemantauan terhadap Penyakit TiLV, antara lain pertama, melarang pemasukan calon induk, induk, dan/atau benih ikan Nila dari negara yang terkena wabah TiLV yaitu Israel, Kolombia, Ekuador, Mesir dan Thailand.

Kedua, membatasi pemasukan calon induk, induk, dan/atau benih ikan Nila dari negara yang tidak terkena wabah dengan memenuhi ketentuan wajib melampirkan izin pemasukan ikan hidup, melampirkan sertifikat kesehatan ikan dan uji hasil mutu. Ketiga, untuk sementara tidak melakukan kegiatan penebaran benih Tilapia di perairan umum. Keempat, melakukan pengujian laboratorium di pintu pemasukan dan pengeluaran antar daerah. Kelima, meminta seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup DJPB dan Dinas Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan surveilan serta monitoring penyakit TiLV.‬

Selama di Kuta Bali, Indonesia dipercaya sebagai tuan tumah 10TH SYMPOSIUM ON DISEASE ON ASIAN AQUACULTURE (DAA10). Kesuksesan Indonesia mencegah dan mengendalikan berbagai penyakit ikan mendapatkan apresiasi dari masyarakat internasional. Fish Health Section – Asian Fisheries Society (AFS-FHS) menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah dalam penyelenggaraan event 3 (tiga) tahunan Symposium On Disease On Asian Aquaculture yang ke-10 (DAA10).

Simposium ini dihadiri oleh 400 orang peserta dari 28 negara di dunia serta dirangkaikan dengan pameran teknologi perikanan budidaya.‬ AFS-FHS merupakan wadah bagi masyarakat perikanan Asia yang fokus terhadap kesehatan ikan maupun hewan akuatik lainnya yang terdiri dari para ahli, peneliti, praktisi, mahasiswa, dan stakeholders lainnya.

Organisasi ini didirikan pada tahun 30 Januari 1989 di Malaysia dan menyelenggarakan simposium DAA perdananya pada tanggal 26-29 November 1990 di Kuta – Bali, Indonesia. Saat ini, AFS-FHS beranggotakan masyarakat dari negara-negara di Asia dan Indonesia termasuk ke dalam salah satu anggotanya.‬

Pendirian AFS-FHS merupakan wujud kepedulian masyarakat dunia terhadap pencegahan dan pengendalian berbagai penyakit ikan dan hewan akuatik lainnya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa perubahan iklim global dapat menimbulkan adanya patogen atau penyakit ikan baru seperti AHPND, TiLV dan mungkin penyakit lainnya yang belum diketahui patogennya serta isu-isu lainnya yang dapat merugikan ekonomi di tingkat nasional dan internasional.‬

Dr. Phan Thi Van, Chairperson Fish Health Section – Asian Fisheries Society Executive Committee 2014-2017 menjelaskan bahwa penyelenggaraan event DAA merupakan wadah diskusi bagi para stakeholders baik ahli, peneliti, praktisi, mahasiswa, bahkan pebisnis terkait perkembangan isu terkini dalam pengelolaan penyakit dan kesehatan ikan. Melalui kegiatan ini diharapkan AFS-FHS dapat mendukung perkembangan akuakultur tingkat regional maupun internasional dimana akuakultur kedepan menjadi lebih strategis dalam perannya mewujudkan ketahanan pangan global.‬

“Para pembudidaya ikan di Indonesia dan juga seperti di negara lain, dihadapkan pada berbagai serangan penyakit yang akan mengganggu dalam proses produksi. Oleh sebab itu, kita sangat memerlukan bantuan para ahli penyakit ikan dalam menangani penyakit termasuk penggunaan obat ikan untuk mengurangi resiko dampak lingkungan sehingga kami menyambut baik kehadiran AFS-FHS dan penyelenggaraan even ini,” pungkas Slamet.

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here