
JAKARTA, BERITA DEWATA – Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, hingga 250 persen menuai protes warga. Ekonom menilai kasus ini bukan sekadar persoalan lokal, melainkan bisa menjalar ke daerah lain akibat kebijakan pemangkasan dana transfer pusat ke daerah.
Media Wahyudi Askar, ekonom CELIOS, menyebut 70 persen kabupaten/kota di Indonesia masih bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Saat pemerintah pusat memangkas APBD daerah hingga Rp51 triliun pada 2025, banyak kepala daerah terpaksa mencari cara menutup defisit.
“Yang terjadi di Pati atau Jombang (kenaikan PBB) bisa terjadi di daerah lain. Karena memang daerah punya ketergantungan besar terhadap transfer pusat,” kata Media dalam dialog Satu Meja Kompas TV, Selasa (13/8/2025).
Prof. Vedi R. Hadiz dari University of Melbourne menilai fenomena ini menunjukkan adanya “resentralisasi” kekuasaan fiskal. Menurutnya, meski kewenangan pajak sebagian diberikan ke daerah, kebijakan pusat tetap mengunci ruang gerak kepala daerah.
“Daerah seolah diberi kewenangan, tapi realitasnya tetap sangat tergantung Jakarta. Ketika dana transfer dipangkas, beban akhirnya dialihkan ke masyarakat,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi belanja negara yang lebih banyak mengalir ke sektor pertahanan ketimbang subsidi, jaminan sosial, atau penciptaan lapangan kerja.
Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, menilai kenaikan PBB ekstrem seperti di Pati adalah buah dari blunder pemerintah pusat. Menurutnya, efisiensi anggaran seharusnya tidak dilakukan mendadak di awal tahun.
“Efisiensi boleh saja, tapi jangan mengagetkan kepala daerah yang sudah punya rencana pembangunan. Akhirnya, yang dikorbankan rakyat dengan beban pajak,” kata Prof. Djo, Rabu (14/8/2025).
Ia menambahkan, pemerintah daerah seharusnya lebih jujur menjelaskan keterbatasan anggaran, lalu memprioritaskan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan ketimbang menaikkan pajak berlebihan.
Kasus Pati muncul di tengah transisi pemerintahan Jokowi ke Prabowo–Gibran. Kabinet baru dengan 48 kementerian harus bekerja dengan APBN yang sebagian besar sudah terkunci.
“Tahun pertama ini jadi ujian. Publik menunggu apakah pemerintah bisa benar-benar menata fiskal, memperkuat daerah, atau justru makin sentralistik,” tegas Prof. Djo.
Kisruh PBB di Pati disebut bisa menjadi alarm bagi daerah lain. Jika tak ada perubahan arah kebijakan fiskal, potensi gejolak sosial di tingkat lokal bakal berulang.























































