Kepala BSN : Penting Standardisasi untuk Wilayah Rawan Bencana

JAKARTA, BeritaDewata – Wilayah Indonesia kembali dilanda bencana. Angin kencang, banjir/bandang, serta tanah longsor di Provinsi Nusa Tengara Timur (NTT), Gempa Bumi di Malang, dan yang baru saja terjadi Gempa bumi mengguncang Bayah – Banten. Bencana bisa terjadi kapan saja dan berpotensi kerugian korban jiwa dan material yang tak sedikit jumlahnya.

Oleh karenanya, untuk meminimalisir jumlah kerugian akibat bencana, selain kita melakukan tindakan-tindakan pencegahan seperti memelihara lingkungan agar lestari dan berfungsi sebagaimana mestinya, juga perlu dilakukan manajemen bencana diantaranya mendorong pembangunan rumah tahan gempa, dan membentuk Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.

Terjadinya bencana di Indonesia sebenarnya sudah sering terjadi. Pasalnya, Indonesia merupakan negara yang berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh cincin api pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni Eurasia, Indo Australia, dan pasifik. Kondisi geografis ini menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana geophysical dan hidrometeorologi, seperti gempa bumi, gunung meletus, longsor, tsunami, kebakaran hutan, dan banjir.

Dapat dikatakan, bencana di Indonesia dapat terjadi kapan saja dan berulang kali. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat – terutama unsur pemerintah – harus menyadari pentingnya kemampuan tanggap bencana.

Sesuai instruksi Presiden RI, Joko Widodo dalam Rapat Terbatas Penanganan Bencana di NTB dan NTT, pemerintah harus mampu mengantisipasi potensi bencana yang dapat terjadi akibat cuaca sangat ekstrim yang melanda berbagai kawasan di Indonesia. Presiden pun mengimbau masyarakat meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan dalam mengantisipasi ancaman angin kencang, banjir, banjir bandang, hingga tanah longsor.

Badan Standardisasi Nasional (BSN) sendiri berupaya mendukung program pemerintah terkait kebencanaan melalui pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI). Kepala BSN, Kukuh S. Achmad mengatakan, dalam sistem standardisasi, BSN memiliki Komite Teknis 13-08 Perumusan SNI Penanggulangan bencana.

“Komite Teknis 13-08 sudah menyusun beberapa SNI terkait bencana, salah satunya SNI 8357:2017 Desa dan kelurahan tangguh bencana. SNI ini bahkan telah dimasukkan dalam program diseminasi oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), terutama ke desa-desa yang rawan bencana,” tutur Kukuh di Jakarta, Jumat (16/4/2021).

Kukuh menilai, agar terbentuk kesadaran tanggap bencana, masyarakat lewat pemerintah daerah setempat membutuhkan sebuah acuan. SNI 8357:2017 Desa dan kelurahan tangguh bencana dirumuskan dengan tujuan sebagai standar penerapan desa atau kelurahan tangguh bencana.

SNI ini diharapkan dapat menjadi acuan bersama dalam melakukan upaya pengelolaan risiko bencana berbasis masyarakat termasuk di dalamnya adaptasi terhadap fenomena perubahan iklim yang banyak diinisiasi baik oleh kementerian/lembaga, organisasi non pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat desa dan kelurahan itu sendiri.

Dengan penerapan SNI Desa dan kelurahan tangguh bencana, diharapkan upaya-upaya pengelolaan risiko bencana tersebut dapat secara nyata berkontribusi dalam penurunan risiko bencana termasuk dampak perubahan iklim melalui pemberdayaan masyarakat desa dan kelurahan dengan pelibatan langsung masyarakat, termasuk didalamnya kelompok rentan dan kelompok marginal lainnya.

SNI 8357:2017 memuat 8 prinsip desa dan kelurahan tangguh bencana, yaitu: (1) menggunakan pendekatan multi bahaya; (2) berlandaskan asas perlindungan masyarakat dan berfokus pada pengelolaan risiko; (3) berpusat pada masyarakat dengan mengutamakan kemandirian dan alokasi sumberdaya lokal; (4) merupakan gerakan kolektivitas dengan melibatkan dan mempertimbangkan semua pemangku kepentingan; (5) berbasis pada kaidah ilmu pengetahuan dan kearifan lokal; (6) dilakukan secara berkala dan berkesinambungan; (7) memperhatikan prinsip akuntabilitas sosial; dan (8) integrasi ke dalam perencanaan pembangunan.

Selain SNI tersebut, Komite teknis 13-08 Penanggulangan bencana telah menyusun 19 SNI lain, diantaranya SNI 8840-1:2019 Sistem peringatan dini bencana – Bagian 1: Umum; SNI 8840-2:2020 Sistem peringatan dini bencana – Bagian 2: Tsunami. SNI 8358:2017 Manajemen pelatihan kesiapsiagaan menghadapi bencana; SNI 8288:2017 Manajemen pelatihan penanggulangan bencana; SNI 8040:2017 Sirine peringatan dini tsunami; SNI 2833:2016 Perencanaan jembatan terhadap beban gempa; SNI 1726:2012 Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non Gedung; SNI 7766:2012 Jalur evakuasi tsunami; dan SNI 7743:2011 Rambu evakuasi tsunami.

Kukuh menerangkan, BSN juga telah ikut berpartisipasi dalam penyusunan standar internasional, ISO. “BSN bersama BNPB dan UGM sudah meloloskan satu standar internasional yang diinisiasi oleh Indonesia terkait dengan early warning system untuk landslide atau tanah longsor,” ujarnya.

Di Indonesia, standar tersebut telah ditetapkan oleh BSN dengan judul SNI 8235:2017 Sistem peringatan dini gerakan tanah. Kukuh menambahkan, komite teknis juga sedang mempertimbangkan untuk mengusulkan standar internasional yang berkaitan dengan bencana yang lain, seperti banjir, gunung meletus, dan sebagainya.

Kukuh pun menegaskan bahwa BSN siap memfasilitasi kebutuhan SNI lintas sektor, termasuk terkait kebencanaan. “Pada intinya, BSN mensupport / memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan standar yang bisa dijadikan referensi, atau bisa dijadikan regulasi, atau bisa dijadikan panduan bila kita melakukan penanganan bencana, terutama dalam manajemen kedaruratan,” tegas Kukuh.

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here