DENPASAR, BERITADEWATA – Aktifis perempuan dan anak Provinsi Bali Siti Sapurah mengatakan, kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak meningkat saat pandemi Covid19. Hal ini dinilainya aneh karena selama pandemi anak-anak yang lebih banyak di rumah justeru tingkat kejahatan seksual.
“Ya, benar. Memang selama pandemi Covid19 ini, kejahatan seksual semakin tinggi. Bukan hanya saya yang memantau ya, tetapi seluruhnya meningkat, bukan hanya di Bali tetapi seluruh Indonesia. Sampai sekarang ini terjadi seluruh Indonesia,” ujarnya saat dikonfirmasi Rabu malam (22/12/2021).
Sejak tahun 2020 sampai saat ini kasus kejahatan seksual semakin meningkat. Alasannya anak-anak tidak sekolah tatap muka. Mereka tidak bergaul dengan teman-teman seusianya di sekolahnya. Anak-anak tidak mendapatkan haknya secara formal. Ada banyak penyekatan, ada banyak pembatasan. Akhirnya anak-anak hanya berkumpul dengan orang-orang terdekatnya.
“Dari data yang ada kita tahu bahwa peristiwa atau kasus kejahatan seksual terhadap anak sebanyak 90% pelakunya adalah orang-orang terdekat. Mereka adalah bapaknya, pamannya, kakaknya, kakeknya, tetangganya, sopirnya, dan bahkan tukang kebunnya,” ujarnya.
Penyebab lainnya adalah hampir 24 jam anak-anak usia sekolah ini selalu bergaul dengan HP-nya. Di sanalah mereka bisa mengakses situs-situs orang dewasa, film-film porno, atau gambar-gambar yang merangsang secara seksual. Tidak ada pengawasan yang maksimal dari orang tua.
Kemudian pihak sekolah pun memberikan beban pekerjaan yang terlalu berat terhadap anak-anak. Tidak masuk akal kalau sampai dengan pukul 20 atau sudah malam anak-anak masih zoom atau pertemuan secara daring. Dari grup inilah anak-anak mendapatkan banyak akses situs situs orang dewasa. anak-anak lepas dari pengawasan orang tua dan lepas dari pengawasan guru.
Dari data yang ada korbannya usianya mulai 2 tahun hingga 12 tahun. Ini adalah anak-anak usia sekolah mulai dari TK hingga SD atau bahkan SMP. dan tidak sedikit juga anak-anak usia SMA dan yang sederajat. Kondisi ini bisa dipahami. Sebab para pelaku kejahatan mengetahui dengan betul mengetahui dengan pasti, bahwa di jam-jam sekolah tersebut orang tuanya sibuk bekerja. Anak-anaknya dibiarkan sendirian di rumah. Kesempatan inilah dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan seksual.
Menurut wanita yang lebih dikenal dengan nama Ipung ini, kondisi ini semakin diperparah dengan penegakan hukum kurang maksimal. Ancaman UU sudah bagus. Negara hadir dalam Perpu No 1 Tahun 2016 dan diubah menjadi UU No 17 Tahub 2016 tentang Perlindungan Anak. Jika sebelumnya ancaman hanya sekitar 15 tahun penjara maka dalam UU yang baru itu ancaman menjadi hukuman mati, hukuman seumur hidup, dipasang Chips, dikebiri, diekspos secara terang benderang.
“Sekarang pertanyaannya adalah kenapa undang-undang yang begini keras ini, yang sudah maksimal ini bahwa negara harus hadir untuk melindungi anak yang menjadi korban kejahatan seksual, tetapi kasusnya masih tinggi. Ini menjadi pertanyaan kita semua,” ujarnya.
Kondisi ini terjadi karena para penegak hukum yang kurang berempati dengan para korban. Ini sama sekali bukan generalisasi, tetapi faktanya memang ada dan banyak. Apalagi jika dalam satu kasus kejahatan seksual terhadap anak, jika korban tidak didampingi oleh seorang kuasa hukum yang berkompeten di bidangnya, maka anak-anak korban kejahatan seksual sulit akan mendapatkan keadilan secara hukum apalagi sampai ke dalam ruang persidangan. Misalnya, saat di-BAP di ruang penyidikan, anak-anak korban kejahatan seksual dipersulit sedemikian rupa.
Banyak penyidik yang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap korban kejahatan seksual tidak paham atau tidak mengacu kepada KUHAP. Dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak hanya ada 2 hal yaitu pelaku dan korban. Tidak dibutuhkan sama sekali saksi yang melihat, mendengar, mengetahui, kejahatan seksual yang dialami oleh korban.
Sementara banyak penyidik yang menanyakan kepada korban soal saksi. Polisi atau penyidik hanya membutuhkan dua alat bukti yaitu keterangan saksi korban dan 1 alat bukti tambahan bisa berupa visum et repertum dan atau visum et psychiatry. Visum et repertum diperlukan untuk mengetahui adanya luka sobekan kerusakan di bagian organ intim korban.
Bila dalam visum et repertum, tidak bisa dibuktikan, yang artinya tidak ada luka atau sobekan di bagian alat vital korban, maka polisi membutuhkan apa yang disebut dengan visum et psikiatri. Tujuannya untuk memeriksa kejiwaan korban kejahatan seksual. Apakah mengalami trauma psikologis, apakah mengalami keguncangan jiwa atau kerusakan mental lainnya. Ini saja yang dibutuhkan penyidik dalam menangani kasus kejahatan seksual pada anak.
“Namun faktanya di dalam ruang penyidikan korban dipersulit dan dipertanyakan macam-macam. Salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan misalnya, ‘kenapa Anda membiarkan ini terjadi, kenapa anda tidak bisa menghindar, atau kenapa Anda mau diperlakukan seperti ini’. Akhirnya kasus tersebut tidak bisa diproses karena korban tidak bisa menjelaskannya,” urainya.
Akibatnya pelaku tidak bisa diproses. Pelaku dibiarkan berkeliaran di tengah masyarakat. Maka bermunculah pelaku-pelaku baru. Sebab para pelaku ini beranggapan bahwa mereka tidak tersentuh hukum. Akibatnya tidak semua laporan korban ditingkatkan menjadi pendidikan dan apalagi sampai ke ruang sidang di pengadilan.
Ia meminta agar negara harus benar-benar hadir bagi para korban kejahatan seksual. Di bidang penegakan hukum misalnya, Kapolri harus memanggil satuan yang menangani kejahatan seksual anak. Kejaksaan Agung juga demikian. Kehakiman juga melakukan hal yang sama. Mereka harus dimintai agar memberikan empati yang besar, memiliki kepedulian yang kuat terhadap para korban.
Jangan sampai dalam penegakan hukum membuat masyarakat tidak berani melapor. Dari Kementerian komunikasi dan informasi, perlu secara tegas memblokir semua situs-situs porno, situs-situs dewasa. Ini bentuk negara hadir.