Indonesia Perlu Kurikulum Kebencanaan Sejak Usia Dini

Prof Nanang T Puspito

Denpasar – Indonesia sudah saatnya berpikir untuk memperdalam akses publik terhadap pengetahuan tentang gempa, letusan gunung api, bahaya tsunami dan sejenisnya. Hal ini disampaikan Prof Nanang T Puspito dari ITB saat ditemui di Kuta Bali dalam acara dalam acara Southeast Asian Conference on Geophisics Bali 2018, Selasa (7/8).

Menurut Nanang, pengetahuan publik tentang kebencanaan di Indonesia sangat penting karena berdasarkan peta kebencanaan, Indonesia termasuk wilayah yang rawan bencana terutama gempa bumi, letusan gunung api dan bencana tsunami.

“Pengetahuan publik soal ancaman bencana seperti gempa bumi, letusan gunung api, tsunami dan sejenisnya memang belum maju seperti di Jepang. Padahal Indonesia sangat rawan dengan ancaman bahaya tersebut,” ujarnya.

Ia mengatakan, sebenarnya sosialisasi sudah sering dilakukan dengan berbagai cara. Namun pengetahuan kebencanaan itu belum melekat erat, belum merasuk masuk ke setiap anak bangsa. Yang ada justeru setelah terjadi bencana baru dilakukan berbagai upaya sosialisasi dan sebagainya.

“Sosialisasi itu sudah dilakukan tetapi belum benar-benar masuk. Lupa lagi-lupa lagi. Kami dari ITB ini sudah sering turun ke lapangan, tetapi memang belum masuk benar,” ujarnya. Hal bisa dipahami karena bencana itu tidak terjadi secara terus menerus, sehingga mudah sekali untuk dilupakan.

Dosen ITB lainnya Wahyu Triyoso mengatakan, sudah saatnya pengetahuan kegempaan diajarkan sejak kecil, dan bila perlu masuk dalam pelajaran sejak usia sekolah dasar. Hal ini penting karena selain pengetahuan, juga membentuk sikap, karakter anak tentang bagaimana menghadapi bencana seperti gempa bumi dan letusan gunung api.

“Sudah saatnya pengetahuan ini dimasukan dalam kurikulum sekolah. Tujuannya, agar sejak kecil seseorang terus diingatkan tentang bencana yang terus mengancam Indonesia,” ujarnya. Sebagai negara yang rentan terhadap gempa bumi, letusan gunung dan tsunami, sudah saatnya kurikulum kebencanaan sangat perlu untuk diajarkan di tingkat sekolah dasar.

Menurutnya, timnya dari ITB sudah melakukan berbagai peta bencana gempa bumi, peta tsunami dari berbagai wilayah di Indonesia. Peta tersebut akan terus diperbaharui setiap 5 tahun sekali. Para pemegang kebijakan juga sudah disampaikan soal peta kebencanaan tersebut. Namun implementasinya di lapangan tidak tepat sasar.

“Salah satu contoh adalah ketika pemaparan peta rawan gempa di beberapa wilayah di Indonesia. Seharusnya, peta rawan gempa itu disambut oleh kebijakan dalam bentu regulasi. Misalnya, pembangunan rumah, materialnya, konstruksinya, harus memenuhi standar anti gempa. Ini harus diatur dalam aturan semisal Perda. Jadi ada sanksinya bila melanggar, mana yang boleh dibangun dan mana yang dilarang dan seterusnya,” ujarnya.

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here