DENPASAR – Pengamat Ekonomi Nasional Faisal Basri saat ditemui di Denpasar, Rabu (31/1) mengatakan, meningkatnya impor berbagai bahan pokok yang terjadi beberapa saat ini tidak menutup kemungkinan akan dijadikan semacam ATM bagi beberapa partai tertentu untuk kepentingan di tahun politik.
“Dilihat dari siklus itu memang ada benarnya. Menjelang Pemilu di masa lalu, import memang selalu ada. Di masa lalu import daging yang diumbar. Sekarang di Bandung misalnya, ada import tekstil dan garmen. Sebelumnya hanya importir-importir yang terdaftar yang boleh melakukan impor. Sekarang di Bandung, semua tekstil diimpor. Akibatnya, harga tekstil, kain langsung turun drastis,” ujarnya. Hal lain juga adalah import kayu loko, import rotan saat ini sedang terjadi.
Hal lain yang juga mendapat sorotan adalah pemerintah meminta PPI import besar. Besar dari Vietnam itu harganya Rp 4500 perkilo. Setelah berada di Indonesia, dijual dengan harga Rp 9500 perkilo. Selisih dan keuntungan itu larinya kemana sampai saat ini kita tidak tahu. “Keuntungan kemana. Tetapi syukurnya diambilalih sama Bulog,” ujarnya. Ia menyebut, Mendagri sudah seringkali dikoreksi kebijakannya baik soal beras maupun gula karena jelas-jelas melanggar ketentuan UU. PPI dan BUMN dibawah binaan Mendagri sehingga apa saja bisa dilakukan.
Ia menyebut, terkait dengan ATM bagi Pemilu memang sudah ada polanya. Sebelumnya sempat bagi-bagi daging, dan sudah terbukti di masa yang lalu. Sekarang susahnya adalah sistem multy partai. “Jika dulunya yang peras hanya Golkar. Karena Golkar dominan dan dua partai lainnya hanya penggembira. Makanya dua partai lain kalau kampanye kelihatan kere, sementara Golkar sangat besar dan wah,” ujarnya.
Sekarang coba bayangkan, partai pemenang pemilu saja mendapat quota 19 persen. Kemudian partai partai lainnya yang di urutan kedua, ketiga dan sebagainya, 12 persen, 9 persen. Semua partai ikut ambil bagian di posisi yang sama. Bahkan, untuk bisa masuk, partai-partai itu harus digabung-gabung baru bisa lolos, mereka salin dukung.
Kalau soal angkanya, bisa dilihat dari salah satu contohnya impor gula rafinasi import, maka biaya administrasi sebesar Rp 82 ribu perkilo. “Coba dikalikan saja dengan 3 juta ton gula rafinasi import. Itu setahun. Jumlahnya Rp 235 miliar. Berasnya lebih besar lagi. Belinya Rp 4500 jualnya Rp 9000. Hitung saja,” ujarnya.
Contoh lain adalah RUU RI tentang Pertembakauan. UU ini Presiden Jokowi sudah menolak pembahasan UU RI Pertembakauan. Sekarang malah DPR RI yang dikomandoi Misbakun dan Firman Wijaya (Golkar) ngotot untuk dibahas ulang. Definisinya berbeda, yakni tembakau merupakan warisan nusantara sehingga tidak boleh diatur produksinya, tidak boleh diatur harganya, dan sebagainya. Padahal smoking rate-nya, Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia. “Kita harus melindungi generasi muda Indonesia dari zat aditif yang berbahaya. Ini juga salah satu indikasinya,” ujarnya.