DENPASAR – Kualitas udara di Bali ternyata masih dinyatakan bersih sekalipun ada sebaran abu vulkanik Gunung Agung saat letusan freatik baru-baru ini. Kualitas udara itu diketahui lebih baik berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Alat pengukur tersebut dinamai Air Quality Monitoring System (AQMS) yang diproduksi dalam negeri Indonesia.
Kepala Seksi Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup RI Endang Hidayat menjelaskan, AQMS dipasang di tiga titik di Bali pasca sebaran abu vulkanik. “Kalau untuk lokasi pantau pencemaran udara, kita pasang di tiga titik. Pertama di kawasan Bandara Ngurah Rai dipasang pada tanggal 30 November 2017. Kedua, dipasang di Halaman Polsek Kecamatan Abang Karangasem pada tanggal pada tanggal 1 Desember 2017. Dan lokasi ketiga dipasang di Halaman Koramil Kecamatan Bebandem tanggal 2 Desember 2017,” ujarnya saat dikonfirmasi, Senin (4/12).
Sekalipun sudah dipasang alat pengukur kualitas udara namun Endang Hidayat tidak mau membuka hasil analisanya. “Kalau hasilnya masih proses analisa. Kami dapat menjawabnya tetapi harus melalui surat resmi yang ditujukan kepada Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Jl DI Panjaitan Kav 24 Gedung B Lantai 3 Kebon Nanas Jakarta Timur 13410,” ujarnya.
Namun beberapa mitra KLH yang di Bali ternyata sudah mengetahui kualitas udara di Bali karena AQMS ternyata bisa mendapatkan hasil kualitas udara dengan waktu yang relatif singkat. Proffesional Conference Organizer Pariwisata Bali Amran Hidaya menjelaskan, dirinya selalu mendampingi pihak Kementerian LH dan pihak ketiga saat melakukan test kualitas udara tersebut.
“Kami sudah mendapatkan penjelasan langsung dari produser alat AQMS. Bahwa udara di Bali sekalipun masih ada sebaran abu vulkanik namun kualitasnya masih bersih, masih di bawa ambang batas normal dan bersih. Bila dibandingkan dengan Jakarta, maka pencemaran di Jakarta masih lebih tinggi bilang dibandingkan dengan di Bali sekalipun ada abu vulkanik,” ujarnya.
Secara de facto, udara di Bali saat ini memang sangat bersih karena polusinya masih minim, industrinya masih minim, kendaraan juga masih relatif kurang bila dibandingkan dengan Jakarta. “Di Jakarta banyak industri, banyak kendaraan, sementara pohonya sedikit, sehingga pencemarannya tinggi,” ujarnya.
Menurutnya, hasil pemantauan di tiga titik tersebut diketahui udara Bali sangat bersih, baik yang ada di Karangasem maupun yang dipasang di Bandara Ngurah Rai Bali. Pada saat pemantauan terjadi hujan yang mengakibatkan debu turun karena ari hujan lebih berat dari debu. Arah angin dengan kecepatan 5 knots sehingga partikel debu tidak terhisap dengan baik.
“Bali sepertinya sangat beruntung karena ada campur tangan dari Yang Kuasa, karena sesaat setelah erupsi di Bali, langsung diguyur hujan lebat, dengan arah angin yang tidak mengarah ke Denpasar atau bandara. Akibatnya, kualitas udara di Bali tetap bersih dan aman sekalipun ada letusah Gunung Agung,” ujarnya.
Ia berharap, dengan hasil pantauan dan monitoring AQMS ini, masyarakat dan wisatawan yang berada di Bali tidak perlu cemas karena masih bisa menghirup udara bersih dan tidak ada efek sedikit pun dari Gunung Agung. Semoga kondisi ini terus terjaga.
Sementara Eric Thorania selakuk produser AQMS dari PT Trusur mengaku, jika dirinya tidak dapat berbicara soal hasil test kualitas udara yang dilakukan KLH. “Kalau hasil test kualitas udara itu bukan kapasitas saya untuk menjelaskan karena itu kewenangan KLH. Namun yang ingin saya jelaskan adalah.
AQMS itu merupakan produk dalam negeri dengan harga Rp 350 juta. Saat ini dipakai oleh KLH dan Kehutanan dan dipinjamkan oleh DLH Bali untuk membantu mengukur kualitas udara di Bali pasca erupsi beberapa hari lalu. Hasilnya akan menjadi acuan bagi masyarakat kapan harus mempersiapkan dan memakai maskern,” ujarnya.
Alat AQMS yang dipasang di Karangasem adalah yang berukuran 2,5 micron untuk mengukur dampak terhadap kesehatan karena bisa terhirup ke dalam pernafasan yang bisa terserap ke dalam pembulu darah. Sedangkan yang terpasang di Bandara Ngurah Rai adalah AQMS yang berukuran 10 micron untuk mengukur dampak terhadap engine (mesin) dan bangunan karena partikel abu vulkanik bisa sebagai pengantar listerik yang bisa mematikan mesin.
Particel per-milion (ppm) adalah satuan untuk mengukur udara atau debu dan pencemaran lainnya. Debu vulkanik adalah particel yang paling kecil makanya diukur dalam bentuk ppm dengan AQMS yang sangat sensitif. Untuk sementara udara di Bali masih di bawah ambang batas yakni 19 ppm. Sementara di Jakarta sudah sangat tercemar yakni mencapai 56 ppm.