Kuta – Gulung tikar tampaknya kalimat yang tak bisa menyentuh Ofis Spa. Digerebek 2 Juni 2017 silam dan terbukti menjalankan jasa plus-plus, spa yang berlokasi di area megah Kuta Central Park Ruko PM, Jalan Patih Jelantik, Kabupaten Badung itu tak lantas mati. Malah sebaliknya, tetap eksis.
Status tak berizin alias bodong plus 81 buah kondom berbagai merek yang ditemukan kala penggerebekan tak cukup untuk menutup pintu Ofis Spa dari geliat silat lendir Pulau Dewata. Tersiar kabar 13 terapis plus-plus berinisial SN, DBR, YKS, RU, DA, AN, MPS, RM, SH, SS, FD, RK, dan ER yang diboyong ke Mapolda Bali oleh Tim Satgas II Pekat Agung yang diketuai AKBP I Wayan Suparta juga tetap eksis di Ofis.
Lantaran penasaran, tim investigasi pun merogoh kantong September awal lalu untuk mengetahui kebenaran spa bodong itu masih nakal atau sudah tobat. Tak mudah menemukan Ofis Spa. Seandainya tak ada plang petunjuk di sisi barat jalan satu arah Kuta Central Park dipastikan banyak yang nyasar. Hal itu dialami sendiri oleh tim. Setelah memarkir kendaraan, perjuangan belum selesai. Kita mesti berjalan kaki melewati deretan gedung pertokoan berlantai empat; kira-kira sejauh 20 meter. Berbeda dengan lokasi spa lain yang relatif tersembunyi, Ofis Spa justru berlokasi di depan lobi Hotel Kuta Central Park dan sejajar dengan ruko CBN.
Saat tim melalui jalan setapak menuju Ofis Spa, rimbun pohon pisang hias dan juntaian Lee Kwan Yew berulangkali mencuri perhatian. Berulangkali pula tatapan mata tim investigasi tertambat pada puluhan turis mancanegara yang kala itu menikmati santap siang di sebuah restoran di bagian timur. Jaraknya sekitar 5 meter dari pintu masuk Ofis Spa. “Bila masuk tak boleh merokok,” ujar salah seorang wanita menyapa. Setelah memadamkan ujung rokok, wanita paruh baya itu mengajak tim investigasi menuju lantai dua. Di sanalah akhirnya rokok yang terpaksa dipadamkan kembali menyembulkan asap. Asyik menghisap rokok, seorang wanita berambut sebahu yang memperkenalkan diri sebagai Mami N menyapa tim.
Senyumnya manis. Setelah duduk di sebelah, tangannya menekan keypad laptop. Layar laptop tersebut pun menampilkan pemandangan wah. Sederet perempuan cantik dengan kode dan nama masing-masing. Jumlahnya belasan orang. “Silakan pilih. Mau yang mana?” tanya Mami N. Berulangkali tim ini menjawab pertanyaan sang mami lewat tekanan jari telunjuk pada keypad. Mami N menyebut terapis Ofis Spa dari berbagai daerah. Yang terjauh adalah Medan, Sumatera Utara. Namun masih didominasi terapis asal Pulau Jawa; sama seperti spa bodong lainnya yang tim investigasi kunjungi, yakni Delapan Spa, Kimono Spa, dan Zona Spa.
Usai media ini menentukan pilihan, Mami N dengan sigap menyebut nama kamar yang sudah disiapkan. Oleh Mami N, media ini pun digiring ke lantai pertama. Kesan yang terbersit kala pertama kali menginjakkan kaki ke dalam kamar adalah perasaan terpukau. Kamar pijat Ofis Spa benar-benar luar biasa berkelas. Luas. Meski mewah, rasa was-was terus menghampiri. Sebab terapis yang tim ini bayar mahal-mahal hanya dilihat via laptop. Tak ada showing sebagaimana lazim dilakukan spa lainnya. Beruntung seorang roomboy menghidangkan teh jahe hangat. Cairan manis itulah yang akhirnya menjadi obat penenang kala A, 23, duduk di atas ranjang dan tersenyum menggoda.
“Mau dipijat, Mas?” tanya gadis dari suku Batak Toba tersebut. Perempuan seksi setinggi kurang lebih 155 cm itu mengaku sudah setahun berada di Bali. “Aku tidak kos. Mahal kalau kos di Bali. Aku tinggalnya di sini. Kamarku di lantai 4,” ucapnya. A mengaku senang langsung tinggal di tempatnya bekerja. Sebab tak seperti terapis lain yang harus duduk dan tersenyum di showroom selama berjam-jam, A bisa istirahat sembari menunggu tamu singgah di Ofis Spa.
“Aku bisa tiduran kalau nggak di-booking,” desahnya sembari membuka baju. A pun meminta tim investigasi yang khusuk menonton televisi membuka baju. Pasrah, intruksi genit itu pun akhirnya dilakukan. Termasuk intruksi-intruksi lainnya sepanjang satu jam berikutnya. Di akhir cerita, A menemani tim investigasi membersihkan sisa krim khusus masas yang melumuri sekujur tubuh di bathtub.
“Aku kerja kayak gini karena jadi tulang punggung keluarga, Bli. Adikku satu SMP dan satu kelas IV SD. Bapakku sakit-sakitan. Aku larang dia bekerja,” tandasnya. A mengaku pernah beberapa bulan tinggal di Jakarta sebelum akhirnya memilih bekerja di Bali. “Di sini aman. Tak seperti di tempat asalku. Banyak begalnya,” ungkapnya sembari melumuri sabun cair di punggung tim investigasi. Ditanyai apakah tidak takut bekerja sebagai terapis plus-plus, A menjawab tidak takut. Dirinya juga menyebut Ofis Spa tidak pernah digerebek. Punya pacar di Bali? A menjawab tak mau memikirkan soal pacar. “Aku ingin serius kerja Bli. Membahagiakan kedua orang tuaku,” pungkasnya.