Digital Destination dan Nomadic Destination Jadi Fokus Pengembangan Pariwisata Indonesia

Menteri Pariwisata Arief Yahya

NUSA DUA – Menteri Pariwisata Arief Yahya akhirnya menutup secara resmi Rakornas SMK dan Rakornas Pariwisata Triwulan Perta Tahun 2018 di Nusa Dua Bali, Jumat (23/3). Dalam penutupan kedua Rakornas tersebut, Menpar meminta kepada seluruh elemen terkait bahwa saat ini tidak ada cara lain untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Indonesia selain dengan cara memperkuat Digital Tourism dan Nomadic Tourism.

“Kita sudah menyelesaikan dua Rakernas sekaligus, sudah berakhir Rakornas SMK Pariwisata dan Rakornas Triwulan pertama tahun 2018. Intinya, SMK harus menggunakan standar dunia, regional dan nasional. Sementara untuk pariwisata ada dua topik yakni Digital Destination, dan Nomadic Destination, yang harus terus menerus dikembangkan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Indonesia,” ujarnya.

Menurut Menpar, untuk digital destinasi akan dikembang 100 destinasi. Sementara untuk Nomadic Tourism awalnya akan difokuskan di 10 destinasi yang tersebar di seluruh Indonesia. “Pengembangan kedua konsep ini dilakukan dalam rangka memenuhi targetkan 17 juta wisatawan tahun ini. Alasan nomedic, kenapa turis backpaker yang dibidik. Dua topik ini punya nilai yang tinggi bila dikemas dengan baik dan tertata,” ujarnya.

Untuk digital destination misalnya, akan dikembangkan di 100 destinasi. Biaya pengembangan untuk satu destinasi misalnya hanya Rp 200 juta. Jadi total biayanya Rp20 miliar. Dari angka ini sudah dilakukan perhitungan dimana akan ada direct impact sama dengan Rp200 miliar. Dampaknya langsung itu terjadi dalam tiket, parkir, dan sebagainya. Sementara yang non direct impact bisa mencapai 5 kali lipat dari Rp 200 miliar sehingga totalnya Rp 1 triliun.

Demikian juga Nomadic Tourisme. Tagline terkenal dari Nomadic Tourism adalah “solusi sementara sama dengan solusi untuk selamanya”. Kelihatannya Nomadic Tourism itu sama dengan turis backpaker, turis kelas rendah. Padahal wisman model ini tidak pernah diikat, mereka bebas berkeliaran. “Wisman traveler, tidak kita ikat. Semakin tidak terikat maka orang akan semakin terikat kepada kita,” ujarnya.

Mantan Komisaris Utama Telkomsel itu merasa terlalu lama dengan pengembangan 10 destinasi baru, atau 10 Bali baru seperti yang diprogramkan selama ini. “Saya sudah jadi menteri 4 tahun. Dan sampai saat ini kita masih belum maju apa-apa. Bahkan untuk peletakan batu dasar pembangunan saja belum dimulai. Ini terlalu lama untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Indonesia,” ujarnya.

Arief mengaku, dirinya takut bila berkunjung ke wilayah Indonesia bagian timur. “Saya takut kalau berkunjung ke Indonesia bagian timur. Karena kalau rakyat minta pengembangan wisata, kita mau jawab apa. Semuanya tidak ada, bandara tidak ada, akses tidak ada,” ujarnya.

Untuk itulah Nomadic Tourism dikembangkan. Pembangunan infrastrukturnya murah. Dengan membangun Sea Plane, mendarat di laut. Bandara itu triliun. Kalu sea plane hanya butuh jeti dengan biaya Rp 100 juta. Kalau menunggu bangun bandara, biayanya triliuan, lama bangunnya akhirnya Indonesia terus tertinggal.

Kalau bangun hotel itu terlalu lama. Hanya bangun glame came, kemah-kemah seperti hotel bintang 4 dan 5. “Aksesnya fleksibel, amenites juga aman, dan nyaman. Kalau tidak laku, bisa dipindahkan ke destinasi yang lain. Kalau mau satu kata adalah fleksibel,” ujarnya.

Untuk kebutuhan IMF, Nomadic tourism ada di Borobudur, Labuan Bajo, Toba dan semuanya sudah disiapkan. Semuanya sementara, atraksinya sementara, aksesnya sementara, tetapi mereka akan penasaran untuk datang secara terus menerus.

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here