NUSA DUA, BeritaDewata – Diabetes melitus tipe 2 (DM2) merupakan salah satu “induk” dari banyak penyakit yang menimbulkan morbiditas/mortalitas tinggi serta beban ekonomi yang berat, seperti serangan jantung, stroke, dan gagal ginjal yang berakhir dengan dialisis.
Ini adalah salah satu isu yang dibahas dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) InaHEA (Indonesian Health Economic Association) ke-6, yang tahun ini diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC).
Dalam diskusi bertajuk “Economic of Diabetes Mellitus and Innovative Policy, pembahasan meliputi strategi yang bisa dilakukan untuk mencegah komplikasi diabetes. Seperti diketahui, Indonesia menduduki ranking 6 dunia untuk jumlah penyandang diabetes, dengan 10,4 juta penduduk menderita diabetes.
Dikemukakan oleh Prof. Budi Hidayat, S.KM., MPPM.,Ph.D, Ketua CHEPS-UI (Center for Health Economics and Policy Studies – Universitas Indonesia) UI, 73% penyandang diabetes di Indonesia tidak sadar bahwa dirinya menderita diabetes mellitus.
“Mereka yang saat ini tidak sadar menderita diabetes, dalam 4 – 6 tahun ke depan akan mengalami komplikasi, seperti stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal. Sehingga terkesan, penyakit-penyakit inilah yang menghabiskan dana JKN. Kita harus stop hulunya,” tegas Prof. Budi.
Studi terkini yang dilakukan oleh CHEPS UI menemukan, dari 1.658 pasien DM2 yang disurvei, 66% komplikasi berupa mikrovaskular seperti nefrofati dan retinopati, dan 22% makrovaskular (stroke dan kardiovaskular). Rerata komplikasi muncul 4 tahun setelah pasien didiagnosis, paling lama 6 tahun.
Selama ini, penyakit-penyakit ini yang dituduh menghabiskan dana JKN. “Diabet tidak pernah disebut, padahal inilah biang keroknya. Kalau pemerintah betul-betul serius menurunkan beban penyakit tidak menular (PTM), stop dari hulu sampai ke hilir. Artinya meliputi primary prevention yang fokusnya mencegah jadi diabetes dan secondary prevention yang fokusnya mencegah terjadinya komplikasi pada diabetes,” lanjut Prof. Budi.
Berdasarkan studi lain yang dilakukan, pada 800ribu populasi diabetes ternyata 57% mengalami komplikasi. Pada tahun 2016 total biaya yang dikeluarkan JKN sebesar 7.7 T untuk menangani diabetes dan 74% tersedot untuk membiayai pasien diabetes yang mengalami komplikasi.
Adapun total biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi diabetes tanpa komplikasi yakni Rp 5,4 juta/orang/tahun (perempuan) dan Rp 5,7/orang/tahun (laki-laki); untuk yang disertai komplikasi yakni Rp 11 juta/orang/tahun (perempuan) dan Rp 14 juta/orang/tahun (laki-laki).
Bila dikalikan dengan sekitar 60% penderita diabetes yang memiliki komplikasi, maka dibutuhkan 59T untuk pembiayaannya. Bila semua pasien telah didiagnosis, mungkin dibutuhkan biaya pengobatan hingga 199T.
Ketua Umum PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) Prof. DR. dr. Ketut Suastika, Sp.PD – KEMD, menyayangkan, selama ini tenaga medis hanya memfokuskan perhatian kepda hal-hal yang bersifat medis, misalnya pengobatan. “Sayangnya, usaha ini belum mencapai hasil yang maksimal. Di sisi lain, pembiayaan kesehatan kita masih sangat rendah,” ungkapnya.
Penderita diabetes terus meningkat di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), angkanya terus naik; dari 5,7% 5 (Riskesdas 2007), 6,9% (2013), dan melonjak jadi 10,9% di Riskesdas 2018. Komplikasi tidak hanya menimbulkan morbiditas, mortalitas, serta gangguan sosial, tapi juga membutuhkan biaya besar. “Beban pembiayaan terkait diabetes dan komplikasinya sangat besar,” imbuhnya.
Mereka yang memiliki gula darah tinggi tapi belum diabetes (pra diabetes) juga tinggi, mencapai 30%. “Kalau dibiarkan, dalam 5 – 6 tahun, sekitar 50% mungkin akan menjadi diabetes. Pra diabetes dan diabetes yang belum terdiagnosis adalah ancaman besar,” ucap Prof. Suastika.
Pola pasien diabetes di Indonesia memang cukup unik, dan cukup menyulitkan untuk usaha penanggulangan diabetes. Pola ini antara lalin tingginya pra diabetes dan DM2 yang tidak terdiagnosis, gangguan fungsi sel beta pankreas yang cepat muncul, banyak yang tidak diobati dengan baik atau tidak patuh berobat, dan angka komplikasi tinggi. Di sisi lain, pembiayaan masih rendah.
Ia melanjutkan, untuk menurunkan angka komplikasi, HbA1c harus bisa mencapai target <7%. “Dengan menurunkan HbA1c hingga di bawah 7%, berbagai komplikasi bisa dicegah, baik mikrovaskular maupun makrovaskular,” ujarnya. Namun faktanya, nilai HbA1c pasien diabetes di Indonesia adalah yang terburuk di dunia, yakni 9,2%.
HbaA1c adalah hemoglobin yang berikatan dengan gula dara. HbA1c dapat memberikan gambaran nilai rerata gula darah dalam 3 bulan terakhir, dan sebaiknya diperiksa tiap 3-6 bulan. Tanpa HbA1c yang terkontrol, komplikasi akan muncul, dan inilah yang menelan ¾ pembiayaan diabetes.
Menurut Prof. Suastika, pengelolaan DM2 di Indonesia cenderung lamban dan konservatif. “Kita cenderung menunggu. Kalau sudah HbA1c naik, baru obat ditambah, dan ini lama sekali. Padahal, satu pil tidak akan bisa memelihara kadar gula darah lebih dari 1 – 2 tahun. Kita perlu lebih agresif,” tuturnya.
Tahap awal, diabetes bisa diatasi dengan perbaikan gaya pola makan dan aktivitas fisik. Namun begitu tampak gula darah pasien tak kunjung terkontrol, harus segera diberi obat. Saat satu obat tidak berhasil, harus segera ditambah obat lain (kombinasi), atau insulin.
Berbagai negara telah berhasil mengelola DM2 dengan baik dengan memaksimalkan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Early Access in Diabetes (EAiD) merumuskan empat pilar aksi dini untuk menjawab problematika DM2, dilandasi bukti-bukti empiris.
Keempat pilar tersebut meliputi: Pencegahan (mencegah berkembangnya DM2), Deteksi Dini (mengidentifikasi orang dengan risiko tinggi untuk melakukan diagnosis dini), Kontrol Dini (memastikan akses pengobatan dan support agar gula darah terkontrol dan komplikasi sirna), dan Akses Dini (memastikan sistem membuka akses edukasi, perbaikan gaya hidup, dan terapi yang dibutuhkan).
Mengingat tingginya penyandang diabetes yang belum menyadari kondisinya, maka semua orang yang berisiko tinggi hendaknya diskrining untuk gula darah. “Antara lain mereka yang kegemukan/obes, lingkar perut melebihi angka normal (>80 cm untuk permepuan dan >90 cm untuk laki-laki), ada riwayat diabetes dalam keluarga, dan perempuan yang melahirkan bayi >4 kg,” papar Prof. Suastika.
Bila hasil skrining menunjukkan kadar gula darah yang di atas normal, maka kelompok ini harus dikontrol gula darahnya. “Setelah pasien dideteksi, selanjutnya keran akses pengobatan dan pelayanan diabetes harus dibuka selebar-lebarnya,” ujar Prof. Budi.
Sayangnya sekarang, pengobatan diabetes masih lebih banyak dilakukan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKTL). Padahal seharusnya, obat-obatan diabetes seperti insulin, bisa diberikan di FKTP untuk mempermudah akses bagi pasien. Ini salah satu yang diusulkan.
“Kami harapkan, 80% pasien diabetes selesai ditangani di FKTP sehingga tidak perlu dikonsultasikan ke FKTL. Dengan demikian komplikasi bisa dicegah lebih dini, sehingga mortalitas dan morbiditas berkurang, pembiayaan pun lebih murah,” papar Prof. Suastika.
Sistem kapitasi untuk pembiayaan FKTP turut menghambat pengelolaan diabetes. Dengan sistem kapitasi, FKTP diberi dana sekian rupiah, seberapapun banyak/sedikit pasien yang berobat. Dana ini meliputi biaya pelayanan, jasa, edukasi ke masyarakat, hingga obat-obatan. Di satu sisi, ini diharapkan memacu FKTP untuk mengedukasi masyarakat sehingga penyakit bisa dicegah sedini mungkin. Namun di sisi lain, ini bisa menjadi bumerang.
“Bila banyak pasien yang membutuhkan obat, maka dana kapitasi yang didapat oleh FKTP jadi sedikit, karena banyak dipakai untuk membiayai obat”, ungkap Prof. Budi. Ini bisa menimbulkan keengganan bagi FKTP untuk memberikan obat, meski sebenarnya obat tersedia.
Akhirnya pasien dirujuk ke FKTL dan mendapat obat di sana, yang tentu pembiayaannya jadi lebih besar. “Seharusnya pembiayaan obat dikeluarkan dari kapitasi,” tandasnya.