Denpasar, Berita Dewata – Caleg Partai Nasdem Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) I Putu Artha mengisahkan perjuangannya dalam meraih dukungan dari masyarakat Provinsi Sulteng untuk merebut kursi Senayan.
Mantan komisioner KPU Pusat ini mengaku, spirit Partai Nasdem yang selalu memihak kaum lemah tak berdaya selalu menjadi taruhannya dalam merebut simpati publik. Saat dikofirmasi pertelpon dari Denpasar, Jumat (5/4), Putu Artha mengisahkan suka dukanya saat maju menjadi Caleg dari Provinsi Sulteng.
Ia mengaku, di Sulteng dirinya harus berjuang bersama kaum minoritas Hindu yang rata-rata berasal Bali. Ribuan umat Hindu asal Bali di Sulteng selalu menjadi warga kelas dua dari berbagai aspek. “Simakrama (tatap muka) yang saya lakukan dan saat ini sudah lebih dari 100 titik yang tersebar di 11 kabupaten di Sulteng, terutama di Kabupaten Toli-Toli dan Buol memberikan saya wawasan lebih tajam soal problematika keumatan yakni umat beragam Hindu di Sulteng. Ternyata di negara yang sudah maju ini, umat Hindu di Sulteng masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Idealnya, siapa pun Calegnya, apalagi dari Nasdem yang mengusung restorasi kebangsaan, maka ketika ia melihat persoalan kaum minoritas yang terpinggirkan, maka Nasdem harus berpihak kepada mereka. Apalagi jumlahnya ribuan,” ujarnya.
Dari berbagai pertemuan dengan konstituen, dirinya merekap beberapa persoalan serius yang membutuhkan penanganan serius dan segera. Dan hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh wakil rakyat dari Sulteng selama ini. Beberapa persoalan serius yang direkamnya dan membutuhkan penanganan segera antara lain
tercatat 76 sekolah berbagai tingkatan yang jelas-jelas ada siswa Hindu namun tidak ada sama sekali guru agama Hindu sekalipun itu hanya guru honor. Kondisi ini sudah berlangsung belasan tahun silam. Bahkan beberapa kesaksian warga beragama Hindu yang sudah tamat SMA, ingin pindah agama karena mereka tidak tahu, paham dan mendapat pendidikan agama Hindu. Faktanya, beberapa pemeluk agama Hindu sudah pindah agama.
Ketua PHDI di Bualemo kaget anaknya tak hafal doa-doa Hindu tetapi hafal doa-doa agama lain. Sebabnya di kelas ia wajib ikut pelajaran agama lain (tidak boleh keluar kelas) dan sama sekali tahunan tak dapat pelajaran Hindu. Selain itu, sebagian besar Jro Mangku (pemimpin agama Hindu) di semua pura tak memperoleh insentif (kecuali Morowali dan Banggai dalam jumlah kecil). Jika sakit kesehatan mereka tak ada yang menjamin.
Tempat ibadat agama Hindu yakni Pura dan kuburan agama Hindu tidak memiliki sertifikat hak milik umat dan sangat berpotensi terjadi masalah hukum di kemudian hari. “Kasus di Mettasari Parigi (kuburan Hindu diklaim perorangan dan bersertifikat) dan kasus di Mentawa dimana Pura dibuatkan sertifikat pribadi umat lain dan akan jadi masalah di kemudian hari,” ujarnya.
Secara resmi dana operasional PHDI Kabupaten dan Kota dan Kecamatan se-Sulteng tak masuk APBD induk. PHDI Kabupaten/Kota tak punya gedung kantor resmi dan mobil operasional. Sejumlah daerah kantong-kantong Hindu tak memiliki lokasi khusus untuk melasti. Ada beberapa daerah yang merasa terintimidasi dan tak berani melasti.
Ada dua desa di Sulteng mengalami persoalan pemilikan sertifikat tanah hak milik mereka sebagai TransBali. Belasan tahun dibohongi. Sertifikat tanah garapan dan rumah tak punya.
Pembangunan berbagai jenis Pura di berbagai wilayah masih minim sentuhan bantuan pemerintah secara resmi. Padahal pembangunan rumah ibadah lain cukup besar. Sarana infrastruktur fisik bangunan seperti bendungan, penataan daerah aliran sungai, usaha ekonomi kerakyatan lainnya, masih jauh dari sentuhan konkret program pemerintah Pusat.
“Saya tidak memungkiri bahwa satu dua tokoh DPR Pusat, dan daerah telah berkontribusi. Namun dalam pandangan saya bantuan tersebut sekadar “uang receh” yang belum memecahkan persoalan strategis di atas. Seorang Ketua PHDI bangga dipasok dana Rp 30-50 juta untuk kegiatan tertentu, padahal jika anggota DPR/D itu serius, ia bisa ngotot mengusulkan dana rutin untuk PHDI misalnya Rp 300 juta per tahun. Persoalan-persoalan itulah yang sangat saya sadari harus saya selesaikan jika umat memberi kepercayaan duduk sebagai anggota DPR RI Dapil Sulteng. Beberapa sudah saya selesaikan seperti di Donggala dan Morowali. Beberapa guru agama Hindu saya gaji dari uang pribadi saya. Tetapi tak cukup itu. Kita harus punya 1 orang DPR RI, DPD, 3 anggota DPRD Provinsi dan belasan DPRD Kab kota. Jika saya terpilih saya akan mengkonsolidasikan kekuatan politik wakil rakyat terpilih ini agar fokus menyelesaikan persoalan strategis umat daripada sekadar menyumbang 50 zak semen, baju seragam organisasi dan yang “receh-receh” lainnya,” ujarnya.
Ia meminta agar rakyat Sulteng, khususnya beragam Hindu harus kompak memilih dirinya. Putu Artha optimis Nasdem bisa rebut 3 kursi DPR RI dari Sulteng. “Beri saya kesempatan. Coblos surat suara kuning DPR RI caleg nomor urut 5 Partai NasDem,” ujarnya. Survei 22 Februari Poltracking Jakarta mencatat, NasDem di Sulteng potensial merebut 3 dari 7 kursi. Dan kursi ketiga dapat saya rebut jika suara umat Hindu solid mendukung.