BeritaDewata.com, Denpasar – Bali Tourism Board (BTB) diduga kuat telah melakukan deal-deal tersembunyi dengan beberapa agen nor formal asal Cina pasca mencuatnya kasus penjualan murah pariwisata Bali ke Cina. Hal ini mengemukan dalam sidang paripurna DPRD Bali di Gedung DPRD Bali, Senin (22/10).
Salah satu anggota DPRD Bali Ketut Karyasa Adnyana dari Fraksi PDIP Bali yang menginterupsi sidang yang dihadiri oleh Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Arta Ardhana Sukawati (Cok Ace).
“Pak Wagub pasti mengetahui betul soal deal-deal BTB dengan para agen Cina ilegal. Deal ini justeru terjadi saat kasus penjualan murah pariwisata Bali mencuat dan Pak Wagub sudah melakukan sidak ke beberapa titik dan benar adanya telah terjadi kasus serupa. Kenapa BTB melakukan deal itu lagi. Apa yang mereka dealkan itu sangat merugikan Bali. Saya takut sekali, Pak Wagub ditelikung oleh orang pariwisata sendiri,” serga Kariasa dengan suara tinggi.
Menurutnya, dalam sidak yang dilakukan oleh Cok Ace, semua orang sudah mengetahui jika banyak ditemukan pelanggaran. Pertama, ada banyak pelanggaran imigrasi dan perzinan, ternyata banyak tenaga kerja Cina yang pake visa kunjungan, tetapi bekerja di beberapa toko di Bali. Kedua, pembayaran menggunakan Bil yang berlogo Garuda Indonesia dengan nama Presiden Jokowi, tetapi pembayarannya menggunakan uang Cina.
“Ini sangat meresahkan. Di satu sisi Indonesia sedang memperketat tenaga kerja asal Cina yang ilegal, di Bali malahan membiarkan itu terjadi dan lebih mengerikan lagi, terjadi di Bali dengan menjual murah pariwisata Bali ke Cina,” ujarnya.
BTB bukannya melakukan pertemuan untuk menyelesaikan masalah, tetapi malahan melakukan deal-deal yang menguntungkan para mafia dan guide ilegal dan oknum dalam BTB itu sendiri yang nota bene Cok Ace merupakan orang dalam BTB itu sendiri.
“Oknum BTB malah melakukan pertemuan tertutup, deal rahasia, dan malahan adalah perjanjian tertulis yang menguntungkan dirinya, tetapi merugikan citra pariwisata Bali. Ini adalah perbuatan yang melanggar hukum dan bisa dipidanakan. Cok Ace kena getahnya. Perjanjian tertulis itu menguntungkan para mafia asal Cina dan oknum di BTB tetapi merugikan Bali,” ujarnya.
Kondisi ini terbalik dengan Thailand dan Singapura yang sudah memberantas mafian serupa, namun di Bali malah melakukan praktek yang merusak citra Bali sebagai destinasi wisata terbaik dunia.
Wagub Cok Ace saat dikonfirmasi membenarkan kasus tersebut. Ia menjelaskan, saat blusukan dan sidak tersebut juga ditemukan hal serupa, dimana dalam toko-toko di kawasan Benoa, semua produknya berasal dari Cina dengan pembeli spesial wisatawan Cina. Akibat dari pelanggaran tersebut, pihaknya meminta agar Imigrasi melakukan pengawasan secara ketat.
Hasil dari blusukan tersebut, maka BTB melakukan langkah-langkah dengan memanggil para pihak. BTB sebenarnya ingin mempertanyakan apakah benar terjadi kasus serupa. Di akhir rapat, ada semacam perjanjian tertulis untuk tidak melakukan hal tersebut.
“Ini artinya pihak-pihak tersebut mengakui adanya upaya untuk menjual Bali secara murah, melibatkan mafia dan seterusnya. Karena dalam perjanjian tertulis itu disebutkan ada pernyataan untuk menghentikan “jual beli kepala” di Bali khusus untuk wisatawan asal Cina. Artinya, kasus itu memang benari-benar ada. Sejauh BTB berupaya untuk mencegah jual murah Bali itu sah-sah saja. BTB juga meminta harga-harga hotel ke beberapa pihak yang sering menampung orang Cina selama di Bali, namun tidak diberikan,” ujarnya.
Menurut Cok Ace, dalam sidaknya ke beberapa titik memang benar adanya. Ada tenaga kerja asal Cina yang ilegal, seluruh tokohnya menjual produk asal Cina, pembayarannya menggunakan mata uang Cina. Jadi transaksinya di Indonesia, Bali, tetapi duitnya ada di Cina. Bali hanya sebagai tempat pajangan, dan menampung sampah.
Pihaknya sudah berkoordinasi dengan semua pihak berwenang, Imigrasi soal tenaga kerja asing, bea cukai, bandara, pelabuhan untuk mengawasi barang-barang asal Cina yang marak di Bali. “Bagaimana mungkin barang-barang itu ada di Bali, kalau tidak melalui pelabuhan atau bandara,” ujarnya.
Bahkan hasil penelusurannya membuka fakta bahwa para guide itu bekerja sama dengan hotel-hotel yang sepi. Harga kamar dari Rp 500 ribu permalam, turun menjadi Rp 200-300 ribu permalam. “Mereka berani tawar. Kalau tidak mau mereka akan pindah ke hotel lainnya. Mereka lacak kalau hotel itu sepi,” ujarnya.
Ada lagi fasilitas homestay yang dipaksakan untuk memasukan 6 bad dan bisa dihuni pasangan suami isteri entah itu isteri sah atau sekedarnya. Mereka akan bayar perkepala Rp 50 ribu perhari. Jadi 6 bad, dihuni 12 orang hanya untuk tidur dan mandi, dibayar sebanyak Rp 600 ribu perhari. Mereka dibiarkan untuk saling mempertontonkan hubungan seks layaknya suami isteri. “Bagaimana rumah-rumah di Bali membiarkan hal itu. Bahaya sekali. Kita sangat terdegradasi,” ujarnya.