DENPASAR, BeritaDewata – Praktisi hukum Husdi Herman mengeritik tajam hukum pertanahan di Indonesia yang hingga saat ini masih tumpang tindih. Saat ditemui usai peresmian Kantor Cabang Bali di G88 Co Working Space Kerobokan Bali, pengacara yang sering berurusan persoalan tanah di Indonesia itu mengatakan, di Indonesia peta pertanahan masih sangat tumpangtindih.
“Semua dinas, badan, instansi mengklaim memiliki peta tanah. Pertambangan memiliki peta sendiri, kehutanan memiliki peta sendiri, pengairan memiliki peta sendiri. Peta pertanahan ini seringkali bersinggungan dan tumpangtindih. Seharusnya yang memiliki peta adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ini seringkali bersinggungan. Kalau bersinggungan, banyak istansi yang tidak mau mengalah. Masuk ke pengadilan, ini juga konyol. Yang tidak benar adalah petanya, karena banyak kepentingan,” ujarnya.
Menurutnya, idealnya peta pertanahan itu hanya dikuasai oleh BPN, karena hanya BPN yang memiliki kewenangan terhadap peta pertanahan. Namun faktanya, peta itu diklaim oleh semua instansi terkait.
Contohnya, pemilik tanah si A, ternyata di salah satu bagian tanahnya, ada tambang emas. Seharusnya karena dia yang memiliki tanah tersebut, dia bisa mengeksplorasi emas yang ada di dalamnya, namun karena tanahnya adalah buka peta pertambangan maka si A bisa dianggap melanggar hukum. Bila peta pertanahan itu hanya dimilliki BPN, maka semuanya berjalan lancar.
“Dalam situasi seperti ini, siapa yang salah. Negara yang salah. Instansinya yang salah. Termasuk kami-kami yang paham hukum agraria ini yang salah, karena belum berhasil melakukan edukasi, belum bisa mempengaruhi kebijakan dan seterusnya,” ujarnya.
Di Indonesia ini, orang yang memiliki sertifikat tanah, belum menjamin kalau dirinya tidak digugat. Hal ini berbeda dengan tetangga Malaysia. Di Malaysia itu negatif berdampak positif. Ketika negara mengeluarkan sertifikat, maka negara benar-benar menjamin keabsahan sertifikat tersebut, dan tidak bisa digugat oleh siapa pun.
“Mereka kalau tidak sertifikat, mereka tidak nyaman. Beda dengan kita. Ketika sudah memiliki sertifikat, maka siapa pun tidak bisa digugat. Kalau di Indonesia, masih ada nomor yang salah, sertifikat ganda, masih ada tanah yang sisa ukur dan sebagainya,” ujarnya. BPN yang harus menjadi rujukan utama soal peta pertanahan.
Namun Indonesia harus bersyukur karena di era Pemerintahan Jokowi, tumpangtindih peta pertanahan Indonesia terus berkurang. Jokowi dengan program nasional (Prona) sertifikat pertanahan secara gratis terus meminimalisir persoalan agraria di Indonesia. Program Jokowi untuk melakukan sertifikat gratis tersebut membuat warga Indonesia berbondong-bondong mendaftarkan dan mengukur t
anahnya untuk disertifikat. Jokowi telah membuat persoalan tanah Indonesia minim konflik. “Bukan saya membanggakan Jokowi, tetapi tindakan Jokowi sangat peduli terhadap pertahanan Indonesia. Terutama pemetaan pertanahan seluruh Indonesia saat ini sudah dilakukan secara menyeluruh,” ujarnya.
Tahap pertama ditargetkan 5 juta sertifikat gratis, tahap kedua 7,5 juta sertfikat gratis, dan tahap ketiga 12 juta sertifikat gratis. Nanti tahap berikutnya akan langsung 20 juta sertifikat gratis.
Menurutnya, Jokowi telah menunjukan kepedulian akan peta pertanahan Indonesia secara lebih serius sepanjang sejarah presiden di Indonesia. Di era pemerintahan Jokowi, konflik agraria terus menurun baik secara kualitas maupun kuantitas. Peta pertanahan Indonesia menjadi jelas dan terang benderang. Kepemilikan tanah yang selama ini menjadi konflik terus diminimalisir.
“Memang disana-sini masih ada banyak kendala dan tantangan, masih ada yang belum tuntas. Namun secara umum, dalam koridor tata hukum agraria, Jokowi telah menunjukan kepeduliannya yang sangat tinggi yang membuat tanah di Indonesia menjadi terang dan jelas,” ujarnya.