Denpasar – Spa Delapan yang beralamat di wilayah Jalan Dewi Sri Legian, Kuta, Kabupaten Badung diduga mempekerjakan anak di bawah umur. Informasi tersebut keluar langsung dari bibir Mami N yang bekerja di spa yang diguga bodong alias tak berizin tersebut beberapa waktu lalu. Saat menjelaskan paket spa yang tersedia di sana, kepada tim liputan, Mami N menyebut seorang terapisnya berusia belasan tahun.
Ditanyai apakah ada yang berumur di bawah 20 tahun dengan sigap sang mami menunjuk seorang terapis dari 8 orang yang kala itu bekerja. Dengan wajah meyakinkan Mami N menunjuk wanita berbaju merah dan menyebutnya berusia belasan tahun. “Bergantung selera. Kalau kecil badannya sih itu. Imut,” ungkapnya. Tidak bisa dipastikan apakah pernyataan Mami N benar lantaran tim tidak melihat KTP terapis bersangkutan. Meski demikian tentunya hal ini harus menjadi perhatian serius aparat terkait karena melanggar Pasal 68 UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Pihak kepolisian, Satpol PP, dan Desa Adat setempat harus segera bergerak mengingat selain bodong alias tak berizin, Spa Delapan yang berdiri megah dengan kolam renang indah di halaman dalam gedung tersebut juga diduga menyediakan paket plus-plus. Hal ini juga disampaikan langsung oleh Mami N. “Kita di sini ada dua jenis massage. Estetika dan paradise. Kalau estetika itu sensasi massage. Ada petik mangga. Maksudnya mijit alat vital plus handjob. Itu harganya Rp 600 ribu. Kalau paradise itu sensasi massage body disentuh payudara terus seks. Ini harganya Rp 800 ribu,” jelasnya. Untuk paket threesome alias diservis oleh dua terapis sekaligus, Mami N menyebut angka Rp 1,7 juta rupiah.
Bodongnya Spa Delapan dibenarkan oleh Kadis Perizinan Kabupaten Badung, Agus Aryawan. Lewat data yang diberikan jelas-jelas tertera bahwa Spa Delapan tak mengantongi izin. Aryawan menyebut akan berkoordinasi dengan Satpol PP Badung selaku tim yustisi. Bila ternyata Spa Delapan juga terbukti menggelar prostitusi terselubung seperti penjelasan Mami N, dirinya menyebut berujung penutupan dan penyegelan. “Satpol PP yang paham masalah ini. Sanksi terberat bisa sampai penutupan dan penyelegan,” tegasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kabupaten Badung, I Gusti Agung Ketut Surya Negara mengaku pihaknya tak akan tinggal diam. Bila terbukti ada prostitusi atau narkoba di lokasi tersebut pihaknya akan berkoordinasi dan bekerja bersama dengan polisi terkait penindakannya. “Dari awal Agustus sampai pertengahan September bulan tertib jalan. Pertengahan September sampai akhir Oktober bulan tertib usaha pariwisata,” jelasnya. Lebih lanjut dirinci bahwa ada 8 tertib yang menjadi tupoksi polisi pamong praja. “Tiang awali dengan tertib jalan, nanti tertib usaha pariwisata, lingkungan, sosial, izin bangunan, penduduk, kebersihan, dan izin-izin lainnya,” ringkasnya.
Khusus pelanggaran asusila, yakni menggelar bisnis esek-esek, Surya Negara menyebut pihaknya harus mendapatkan bukti untuk itu. Misalnya ditemukannya alat kontrasepsi atau kondom, dan sebagainya. Disinggung soal uang pinalti sebesar Rp 50 juta yang harus dibayar para terapis bila ingin keluar dari Spa Delapan sebelum masa kontrak selama enam bulan habis, Surya Negara menyebut hal tersebut merupakan wewenang pihak kepolisian.
Sementara aktivis perempuan dan anak, Siti Sapurah menilai eksploitasi terhadap perempuan terang benderang terjadi di Spa Delapan. “Apalagi jika dia (terapis red) adalah hasil dari perdagangan manusia atau human trafficking. Anak di bawah umur yang dipekerjakan masuk human trafficking. Pengalaman saya mereka diambil dari agen-agen di luar daerah dibawa ke sini dan agen itu dapat imbalan uang dari tempat si perempuan dipekerjakan,” ucapnya. Wanita yang akrab disapa Ipung itu menegaskan ada sistem pemotongan-pemotongan gaji selama terapis itu dipekerjakan di lokasi tersebut. “Itu masuk human trafficking juga. Eksploitasi terhadap anak juga masuk,” tandasnya.
Disinggung soal cashbon senilai Rp 10 juta bagi para terapis dan pinalti sebesar Rp 50 juta yang dikenakan kepada mereka bila berhenti sebelum batas kontrak enam bulan, Ipung mengatakan itulah salah satu cara yang digunakan untuk mengikat para terapis. “Uang di awal itu tujuannya untuk mengikat mereka agar berhutang. Polisi harus mengusut tuntas kasus ini. Kewajiban membayar Rp 50 juta itu termasuk pemerasan,” jelasnya. Ipung menegaskan unsur pemerasan yang diterapkan pihak spa masuk kategori pidana umum. Bila para terapis itu tidak tahu-menahu akan dipekerjakan sebagai pemuas nafsu lelaki hidung belang, maka unsur penipuan pun masuk. “Bila terapis itu terbukti masih berusia di bawah umur, maka kemungkinannya dua. Eksploitasi anak secara ekonomi dan human trafficking,” tegasnya. Bila ternyata para pekerja tersebut tidak berusia di bawah umur sekalipun Ipung menyebut pemilik spa tak bisa menghindar dari jerat hukum.
Terkait legalitas, menurut penelusuran tim, tidak hanya dilakukan Delapan Spa yang bodong alias tak berizin di wilayah seputaran Kuta. Dari hasil kroscek data sementara diketahui spa-spa familiar dan terkenal banyak bersebaran ada sedikitnya sekitar 10 tempat Spa. Mirisnya selain bodong, spa-spa ini juga disinyalir menjalankan bisnis lendir. (BB/Tim Inv)