JAKARTA, Berita Dewata – Wacana perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang dilantangkan Presiden i-Otda, Prof Djohermansyah Djohan bersama peneliti BRIN Prof Siti Zuhro dan Pakar Hukum Tatanegara Dr Margarito Kamis, beberapa pekan lalu, semakin kencang bergulir.
Kali ini, turut bersuara pengamat politik J Kristiadi, Prof Azyumardi Azra, dan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Ansari SH MH.
Hal itu disuarakan mereka dalam acara jumpa pers dan webinar kedua yang digelar di Kopi Bangsa area Museum Satria Mandala, Jumat (18/2) siang.
Mengawali pembicaraan, Djohermansyah menegaskan, pembentukan daerah otonom yang diserahkan pusat ke daerah untuk tujuan mengurus sendiri kepentingan daerah, termasuk urusan kepala daerah dan anggota DPRD yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyatnya adalah bagian dari amanah pasal 18 ayat 3 dan 4 UUD 1945.
Itu artinya, penyelenggara pemerintahan daerah menurut hukum dasar wajib dipilih (elected). Haram hukumnya bila diangkat (appointed), kecuali keadaan darurat, seperti kepala daerah dan wakilnya minta cuti kampanye atau di OTT KPK.
“Dalam kasus itu bisa diangkat Pj dari ASN untuk waktu yang tidak lama,” jelas Djohermansyah. Penegasan dan penjelasan ini sekaligus merespon statemen Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, atas apa yang dilempar ke publik lewat media masa atas “Usulan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Daerah Berpotensi Langgar Aturan”.
Djohermansyah kembali mengungkapkan, memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023 hingga dilantiknya kepala daerah terpilih hasil pilkada serentak nasional 2024, sangat konstitusional.
“Berbeda sekali dengan menunjuk atau mengangkat pejabat ASN alias pegawai negeri (appointed) yang nyata-nyata bukan hasil pemilihan rakyat. Apa lagi dalam waktu yang lama berbilang tahun, bahkan ada yang hampir 3 tahun,” paparnya seraya menyebut jumlah pejabat ASN yang akan diangkat sebagai kepala daerah itu sangat banyak.
Mencapai 272 orang. “Dengan adanya rentetan peristiwa hajatan penting politik (pilpres, pileg dan pilkada), ASN rentan dipolitisasi,” imbuhnya.
KDH Otsus dan Istimewa
Lebih jauh, Djohermansyah memfokuskan perpanjangan masa jabatan KDH di daerah otsus/istimewa, karena memiliki undang-undang sendiri. Bila akan mengangkat penjabat KDH dari ASN dalam waktu yang lama tentunya memiliki risiko yakni bisa mengabaikan kekhususan di daerah-daerah otsus/istimewa.
Mengapa? Seperti di Aceh, untuk menjadi gubernur salah satu syaratnya yakni bisa mengaji, di samping itu calon gubernur paling tidak diusung dari partai politik lokal. Di DKI Jakarta, untuk menjadi pemenang pemilihan gubernur, harus mengantongi suara lima puluh persen plus satu, artinya pemenang dengan simple majority yang berbeda dengan pilkada di daerah lain di Indonesia.
Berbeda lagi dengan DIY, di mana yang menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah Sultan dan Pakualam yang bertakhta. Artinya gubernur dan wakil gubernur berasal dari keturunan Kasultanan Kraton.
Paling timur Indonesia, ada Papua/Papua Barat, di mana syarat untuk menjadi gubernur/wakil gubernur harus dari Orang Asli Papua (OAP). Bila tidak dipenuhi syarat itu, maka akan ditolak oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural masyarakat papua.
Lebih-lebih lagi gejolak konflik di Papua belum reda. “Karena itu, di daerah dengan status otonomi khusus/istimewa perlu dilakukan revisi undang-undangnya untuk mengakomodir perpanjangan masa jabatan kepala daerahnya,” imbuhnya.
Ia menambahkan, sebagai catatan dalam sejarah pemerintahan, bahwa pernah ada konvensi perpanjangan masa jabatan Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X sebanyak 2 kali, yakni dari 2008 sd 2011 selama 3 tahun melalui Keppres Nomor 86/P Tahun 2008, dan dari 2011 sd 2012 selama 1 tahun melalui Keppres Nomor 55/P Tahun 2011.
Atas dasar apa diperpanjang? Karena pada waktu itu Pemerintah bersama DPR sedang menyusun UU keistimewaan Yogyakarta, dan belum selesai. Hingga kemudian lahirlah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 yang mengatur lengkap mengenai Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (KDIY).
Feri Ansari memperkuat pernyataan Djohermansyah. Dalam persepsi Feri, urusan otonomi daerah itu dijalankan seluas-luasnya oleh pemerintah daerah sepanjang tidak bertentangan dengan urusan pemerintah pusat. Apa urusan pemerintah pusat? Ada enam hal. Politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, fiskal dan moneter, serta agama.
“Jadi, tidak ada urusan pemerintah daerah di sana. Jadi, sebenarnya pemerintah pusat tidak bole cawe-cawe prosesi dan regulasi di daerah,” ujarnya.
Feri menambahkan, apa yang terjadi sekarang ini karena ada suasana politik di tanah air. Ia memperhatikan tiga daerah yang penting terkait otonomi khusus. Yakni, Papua Barat, Aceh dan DKI Jakarta. Tiga daerah ini dianggap penting karena daerah “basah” secara politik dan sumber daya alam.
“Saya sepakat dipertahankan saja masa jabatannya. Karena, mereka dipilih publik. Kedua, mereka melanjutkan pembangunan dua tahun lagi hingga dapat memenuhi janjinya. Itu sangat berbeda kalau ada penunjukkan Penjabat dari pemerintah pusat,” tuturnya.
Statemen J Kristiadi juga tak jauh dengan apa yang dikatakan dua narasumber di atas. Ia setuju dengan perpanjangan masa jabatan kepala daerah. Terlebih lagi di Papua Barat yang menurutnya suasana politiknya agak berbeda dengan daerah lain.
“Dengan perpanjangan masa jabatan kepala daerah, gubernur yang menjabat bisa menjaga keharmonisan dan kelancaran pembangunan. Sangat berbahaya kalau diganti dengan Penjabat yang masa tugasnya sangat lama. Ini bisa membuat luka batin,” imbuhnya.
Sementara Azyumardi Azra mengemukakan empat poin bila Pj KDH yang ditunjuk pemerintah pusat menjabat dalam jangka waktu yang panjang. Pertama, ini adalah kemunduran demokrasi. Kedua, kembalinya sentralisasi. Ketiga, hilangnya kedaulatan rakyat. Keempat, menguatnya cengkeraman oligarki. (Irwan Siswanto)