Bali Tujuan dan Transit Perdagangan Manusia

Yosep Yulius Diaz

DENPASAR – Penggiat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Yosep Yulius Diaz saat ditemui di Denpasar, Jumat (3/11) menjelaskan, Bali saat ini sudah menjadi tempat transit dan tujuan human trafficking. Umumnya, yang secara terang-terang itu adalah para korbannya berasal dari NTT dan NTB. “Jika sebelumnya Bali hanya menjadi tempat transit, kini Bali sudah menjadi kedua-keduanya yakni tempat transit dan sekaligus tujuan perdagangan orang. Yang lebih menarik lagi, korbannya lebih banyak berasal dari anak-anak asal NTT dan NTB, yang kebetulan pendidikannya rendah dan secara ekonomi rata-rata dari keluarga miskin,” ujarnya.

Ia menjelaskan, sejauh ini banyak kasus-kasus perdagangan manusia yang ditangani TPPO. Dan dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut, ditemukan lebih banyak anak-anak asal NTT dan NTB. “Umumnya mereka adalah wanita di bawah umur, berusia dari 14 tahun hingga 16 tahun, berasal dari keluarga miskin di pedalaman NTT, berpendidikan rendah dan seterusnya. Dalam kondisi ini, ketika diiming-imingi gaji yang besar, tinggal di kota, maka anak-anak itu tergiur tetapi hasilnya menyedihkan,” ujarnya.

Modusnya sangat miris. Para perekrut, pencari, masuk sampai di kampung-kampung. Umumnya mereka sudah memiliki jaringan yang mengantongi informasi bahwa di desa tersebut ada anak-anak gadis dari keluarga miskin. Jaringan di tingkat desa ini akan merekrut anak-anak dibawah umur. “Bila berhasil, perorang akan mendapatkan upah Rp 3,5 juta. Uang ini diberikan oleh pengepul, penampung, berkedok tempat pelatihan kepada oknum yang merekrut. Artinya, satu orang dibayar biaya Rp 3,5 juta.

Yang ini bukan untuk biaya transportasi dan akomodasi tenaga kerja mulai dari tempat asal sampai ke tempat penampungan. Tetapi memang upah bagi para perekrut. Rata-rata perminggu bisa memboyong 20 orang. Tinggal dikali saja, 20 x Rp 3,5 juta. Jadi penghasilan seorang perekrut Rp 70 juta perminggu. Tentu saja ini bukan diterima sendiri tetapi jaringan. Dengan penghasilan besar tersebut, semua orang pasti tergiur. Dalam wawancara kami dengan para korban, mereka diberangkatkan dengan menggunakan truk ekspedisi. Para sopir truk biasanyaa menampung di belakang kopartemen,” ujarnya.

Untuk yang transit di Bali, mereka ditampung di beberapa rumah, dilarang keluar rumah tanpa sepengetahuan majikan. Untuk menutupi kedoknya, mereka akan melatih beberapa ketrampilan kerja seperti cara mencuci pakaian, cara setrika, dan sebagainya. Setelah itu mereka akan dikirim ke beberapa kota di Indonesia seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, Bogor, Batam, Medan dan sampai Malaysia. “Disinilah tim kecolongan karena ada yang lolos,” ujarnya. Sementara untuk yang bekerja di Bali, mereka akan dipekerjakan dengan klausul kontrak yang tidak wajar seperti tiga bulan pertama tidak mendapatkan gaji karena majikan sudah membelinya di agen. “Selama tiga bulan pertama, HP pribadi pun diambil. Bila salah dalam pekerjaaan, hukumannya diketok, hormat matahari, berpeluk mobil atau masa kerja tidak ada gaji diperpanjang,” ujarnya.

Ia mengaku data persisnya jumlah korban asal NTB dan NTT sudah sangat banyak. Jumlahnya ribuan. Namun dalam dua tahun terakhir kasus ini terus berkurang karena banyaknya LSM, penggiat TPPO, pemerintah terutama di NTT bekerja cukup sinergi mengantisipasi kasus tersebut. Namun data dari Internationa Organization for Migration (IOM) menunjukkan, sudah ada 7.193 orang NTT yang menjadi korban human trafficiking. Dari jumlah itu 82 persen korban adalah perempuan usia dibawah 18 tahun dan 18 persen laki-laki. Dari total korban, sebanyak 42 persen adalah korban yang direkrut dan terjerembab akibat bujuk rayu dan penipuan agen dan sisanya adalah karena kemiskinan dan pendidikan yang rendah dan tidak bersaing di pasar kerja setempat.

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here