Bali di Persimpangan Energi, LNG Jadi Solusi di Tengah Tingginya Emisi Karbon

DENPASAR, BERITA DEWATA – Bali tengah dihadapkan pada kebutuhan mendesak energi bersih di tengah tingginya emisi karbon. Isu ini menjadi sorotan utama dalam Pekan Iklim Bali 2025 yang akan digelar 25-30 Agustus mendatang.

Untuk pertama kalinya di Indonesia, Pekan Iklim bakal mempertemukan pemimpin daerah, pegiat iklim, LSM, pendana, investor, hingga publik. Tujuannya, mendorong aksi iklim yang kolaboratif dan berdampak nyata.

Sejumlah tokoh nasional dijadwalkan hadir, antara lain Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq, Menko Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah Agus Harimurti Yudhoyono, Wamendagri Bima Arya, Gubernur Bali Wayan Koster, hingga Gubernur Sumbar Mahieldy Ansharullah.

Salah satu topik yang mencuat adalah kebutuhan Bali terhadap Liquid Natural Gas (LNG) sebagai energi transisi menuju listrik rendah emisi.

Prof. Ida Ayu Dwi Giriantari, Ketua CORE Universitas Udayana, menegaskan Bali saat ini sangat membutuhkan pembangkit listrik berbasis gas. Pasalnya, emisi karbon terbesar di Bali berasal dari pembangkit berbahan bakar fosil seperti di Celukanbawang, Pemaron, dan Pesanggaran.

“Bali menghasilkan lebih dari 3 juta ton CO2, bahkan puluhan juta ton gas karbon dari pembangkit listrik fosil dan transportasi. Energi surya, air, dan angin di Bali masih sulit optimal karena keterbatasan lahan dan infrastruktur. Yang paling realistis saat ini adalah gas atau LNG,” ujar Ida Ayu.

Menurutnya, kebutuhan listrik Bali terus meningkat dan hingga 2030 diperkirakan membutuhkan pasokan 1.250 MW. “Bali memang difokuskan ke PLTG atau LNG. Pertumbuhan listrik itu cerminan pertumbuhan ekonomi. Kalau ekonomi naik, listrik ikut naik,” jelasnya.

Pemprov Bali sendiri sudah menyiapkan regulasi energi bersih lewat Perda hingga Pergub. Kepala Seksi Humas Pemprov Bali, Made Dwi, menegaskan pihaknya mendukung pembangunan energi baru dan terbarukan.

“Soal penolakan LNG, itu bagian dari dinamika. Ada yang menolak, ada yang mendukung. Semua akan melalui tahapan dan koordinasi agar energi bersih bisa direalisasikan,” kata Made.

Country Director WRI Indonesia sekaligus Komite Pengarah Koalisi Bali Emisi Nol, Nirarta Samadi, menekankan bahwa Bali bisa jadi inspirasi transisi energi bagi daerah lain di Indonesia.

“Pekan Iklim ini akan memperkuat aksi nyata menghadapi krisis iklim. Mulai dari diskusi panel, pameran inovasi hijau, hingga aksi tanam pohon dan bersih pantai. Semua pihak harus kolaborasi,” ujar Nirarta.

Indonesia sendiri menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% secara mandiri, dan 43,2% dengan dukungan internasional.

Nirarta menambahkan, Bali sudah punya sejumlah program nyata seperti larangan plastik sekali pakai, pengembangan kendaraan listrik, dan pelestarian subak sebagai warisan budaya dunia yang berperan dalam penyerapan karbon.

Dengan posisi strategisnya, Bali kini berada di titik kritis menentukan arah kebijakan energi. LNG dipandang sebagai solusi transisi paling cepat, tepat, dan realistis, hingga energi terbarukan lain seperti hidrogen bisa benar-benar dikembangkan.

Sebarkan Berita ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here