SURABAYA, BeritaDewata – Pemerintah Provinsi Bali memiliki komitmen yang kuat untuk mengolah sampah langsung di hulu. Sampah harus dikelolah berbasis rumah tangga. Artinya, sejauh sampah itu bisa diproses di tingkat rumah tangga, maka sampah itu tidak perlu dibawa ke TPS dan TPA.
Kepala Bidang Pengolahan Sampah Limba B3 dan Peningkatakan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali Made Dwi Arbani mengatakan, saat ini perhatian pemerintah baik pusat maupun di daerah terhadap persoalan lingkungan hidup, termasuk soal penanganan sampah sangat besar. Di Bali misalnya, selain karena tuntutan hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih, juga karena Bali adalah destinasi pariwisata dunia.
“Pemprov Bali sedang menyiapkan regulasi agar sampah Bali harus diselesaikan di tingkat rumah tangga. Kalau pun ada sampah anorganik, maka harus selesai di tingkat kabupaten,” ujarnya di Denpasar, Rabu (18/9).
Menurutnya, salah satu kota di Indonesia yang sudah mampu mengolah sampah dengan baik adalah Surabaya, melalui program reduce, reuse, dan recycle (3R). Bali perlu belajar dari Kota Surabaya karena program 3R di Kota Surabaya sudah menjadi landasan upaya pengolahan sampah secara mandiri oleh masyarakat.
“Jadi kuncinya adalah partisipasi masyarakat yang dengan kesadaran yang tinggi dalam mengolah sampah dan komitmen serta kehadiran pemerintah. Di Bali akan dilakukan pengolahan sampah berbasis rumah tangga,” ujarnya.
Namun demikian, Bali harus dilakukan berbeda dengan Surabaya. Sebab, Bali memiliki kearifan lokal dimana seluruh desa adat di Bali memiliki awig-awig (peraturan desa adat) tentang pengolahan atau penanganan sampah.
“Seharusnya, Bali lebih baik dibanding Surabaya. Karena Bali memiliki kearifan lokal yang sangat mendukung, yang berhubungan dengan pengolahan sampah,” ujarnya. Jadi, ada kebijakan di tingkat desa tentang bagaimana caranya menangani sampah, baik sampah plastik maupun sampah organik.
Sementara itu Asisten Bidang Administrasi Umum Sekretariat Priovinsi Bali Wayan Suarjana mengatakan, Bali sudah melakukan studi banding ke Surabaya. Dari hasil studi banding tersebut, ada beberapa hal yang harus dipilah. Pertama, di Surabaya ada pengolahan sampah di Benowo. Hasilnya bisa didapatkan ernergi listrik dan kompos.
Namun di Benowo itu harus memiliki investasi yang besar, lahan yang luas. Bali kesulitan melakukan itu karena kertebatasn lahan. Kedua, Surabaya ternyata sudah memiliki 3 pusat daur ulang (PDU) sampah dan 28 rumah kompos.
“Jadi pengolahan sampah berbasis masyarakat. Kesadaran masyarakat itulah yang bisa membuat sampah dikelolah dengan baik. Masyarakat sudah pilah mana sampah organik, mana sampah anorganik. Bahkan, Pemkot Surabaya menggandeng dasa wiswa hingga tingkat kelurahan,” ujarnya.
Dari hasil studi banding tersebut, yang paling mudah dilakukan di Bali adalah pengolahan berbasis rumah tangga. Sampah harus diselesaikan di tingkat rumah tangga. “Apalagi kita punya awig-awig, kita punya kearifan lokal Tri Hita Karana. Visi Pembangunan Bali juga sama. Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Seharusnya kita melebih Kota Surabaya. Namun hal ini memerlukan komitmen yang kuat dari pemerintah dan juga pemimpin. Kita yakin Gubernur Bali I Wayan Koster memiliki komitmen yang sangat kuat dalam mengolah sampah berbasis rumah tangga,” ujarnya.