Oleh: Prof. Dr.Djohermansyah Djohan (Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN)
BERITADEWATA – Jokowi minta izin mau cuti kampanye pilpres kepada Presiden Jokowi, begitu kata Ketua KPU, Hasyim Asyari. Kontan dijadikan candaan oleh netizen, sampai ada memenya segala. Wibawa pilpres jadi merosot.
Yang benar sebetulnya adalah menteri yang membidangi urusan sekretariat negara menyampaikan jadwal cuti kampanye presiden kepada KPU (lihat PP No 32 Thn 2018), sesuai arahan presiden kepadanya.
Konsep teoritiknya presiden sbg the highest level leader of the state sekedar memberitahukan kepada otoritas penyelenggara pemilu lewat surat Mensesneg, sementara kalau pejabat negara lainnya seperti menteri atau kepala daerah harus minta izin cuti Kampanye kepada pejabat yg berwenang/atasan. Misal, gubernur kepada Mendagri, atau menteri kepada presiden.
Mari kita lihat apakah Presiden Jokowi akan ambil cuti banyak hari atau hanya satu hari atau tidak cuti sama sekali?
Anomali yang lain, presiden cuti harusnya untuk membantu parpol pengusungnya, tempat dia menjadi pekerja partai, bukan cuti untuk kampanye partai lain atau partai-partai yg mengusung Gibran putranya sbg cawapres. Konsep teoritiknya, dlm rangka peran presiden sbg “the Party’s roles”, membantu partai yg telah membantunya dulu memenangi kursi presiden yang akan ditinggalkannya.
Karena itu, agaknya Presiden Jokowi sangat tidak etis, tak patut dan tak pantas bila berkampanye bukan untuk pasangan capres/cawapres dari partai politik yang mengusungnya dulu, yaitu Ganjar-Mahfud.
Ke depan baiknya perlu ada UU Kepresidenan yang mengatur antara lain: posisi, kedudukan, fungsi, kewenangan, kewajiban, larangan, sanksi, dan lain-lain. Kementerian saja ada UU nya, kok presiden tidak.