DENPASAR, BeritaDewata – Penundaan sita obyek berupa tanah dan bangunan Hotel Raflles Bali oleh Pengadilan Negeri Denpasar yang berlokasi di Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung menimbulkan banyak penafsiran.
Jubir 2 Humas PN Denpasar Putu Gede Astawa mengatakan, pada pokoknya Pengadilan terbuka atas sikap kritis ataupun keberatan para pihak, asal disampaikan sesuai aturan, yaitu secara tertulis. “Pimpinan dalam kapasitasnya bisa saja melakukan pemeriksaan atas keluarnya penetapan sita tersebut.
Perlu diketahui penetapan sita itu, dikeluarkan oleh Majelis Hakim yg memeriksa perkara tersebut. Dalam hal ini panitera dan juru sita hanya melaksanakan tugas sesuai penetapan sita tersebut,” ujarnya saat dikonfirmasi Jumat malam (30/7/2021).
Apakah penetapan sita tersebut sudah tepat atau tidak adalah menjadi kewenangan pimpinan utk menilai, atau oleh pengadilan yang lebih tinggi, jika dilakukan upaya hukum atas putusan itu nantinya. Bahkan terhadap sita jaminan tersebut, sifatnya hanya sementara utk kepentingan pemeriksaan, bisa saja dicabut saat putusan akhir, atau bisa juga tetap disita dalam putusan akhir. Semua kembali kepada putusan akhir Majelis yang memeriksa perkara.
Kuasa hukum tergugat PT Citra Tama Selaras Agus Samijaya mengatakan, masyarakat jangan sampai salah persepsi tentang penyitaan tanah dan bangunan seperti yang terjadi kemarin, Jumat (30/7/2021). Ia mengatakan, penyitaan tidak sama dengan eksekusi. Penyitaan itu dilakukan oleh juru sita pengadilan agar obyek tersebut tidak pindah tangan, menghindari kerugian yang lebih besar, dan tidak rusak atau berkurang selama proses hukum berjalan.
“Masyarakat harus tahu bahwa penyitaan dilakukan bukan berarti obyek tersebut sudah menjadi milik penggugat, atau penggugat sudah menang dan menguasai obyek tersebut. Proses hukum masih berjalan, dan kami yakin menang, sebab obyek yang disita itu adalah obyek yang sudah menjadi putusan pengadilan sebelumnya. Bagaimana mungkin pengadilan mau menyita obyek yang sudah menjadi kekuatan hukum, melalui putusan pengadilan,” ujarnya.
Agus Samijaya yang hadir saat agenda pelaksanaan putusan sita jaminan tersebut mengaku penundaan pelaksanaan putusan itu adalah keputusan pihak juru sita panitera PN Denpasar yang melihat kondisi situasi di lapangan. Ia mengaku pihaknya bukan hanya setuju dengan penundaan itu, namun juga meminta agar keputusan sita jaminan atas objek sengketa tersebut dicabut. Alasannya, ia mengatakan putusan tersebut terbit tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata, baik umum maupun perdata khusus, terutama mengenai syarat untuk dipertimbangkanya mengabulkan pemohonan sita jaminan.
“Penetapan perkara yang dilakukan majelis dalam perkara Nomor 215/Pdt.G/2021/PN Dps, tidak sesuai dengan syarat-syarat dikabulkannya sebuah permohonan sita jaminan. Tidak sesuai ketentuan hukum acara pasal 227 HIR tentang sita jaminan/pasal 261 RBg, dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5/1975, dan ketentuan dalam Buku Dua Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI edisi tahun 2007-2008 pada halaman 80-82,” tuturnya.
“Karena tidak sesuai dengan syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam mempertimbangkan dikabulkannya permohonan sita jaminan tersebut, maka kami (pihak Tergugat) atas dasar tesebut menyatakan keberatan atas menolak atas penetapan sita jaminan tersebut dan meminta agar majelis hakim agar mencabut kembali penetapan sita jaminan itu,” tandasnya.
Terkait penolakannya itu, ia bahkan mengaku telah bersurat kepada Ketua PN Denpasar serta ditembuskan ke Ketua Pengadilan Tinggi Denpasar, Ketua Mahkamah Agung RI, Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung RI, Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI di Jakarta. Dalam suratnya tanggal 29 Juli 2021 tersebut ia mengatakan telah menyatakan keberatannya dan meminta agar penetapan sita jaminan tersebut dicabut.
Menurutnya, perkara perdata ini sedang berjalan di PN Denpasar dan ia yakin jika kliennya akan memenangkan perkara tersebut. Sebab penggugat masih menggunakan pipil nomor 456 Klas VII dimana pipil ini sudah tidak berlaku dengan ditetapkannya putusan pengadilan nomor 142/Pdt.G/1990/PN Dps.
“Jadi bagaimana mungkin pengadilan sita apa yang sudah diputuskannya sendiri. Makanya kami meminta agar sita obyek ini dicabut,” ujarnya. Obyek tersebut adalah milik I Ketut Olog dengan sertifikat kepemilikan yang jelas.
Dan semuanya sudah jelas baik sertifikat kepemilikan maupun putusan pengadilan. “Jadi kasus ini sudah berjalan selama 28 tahun lalu. Dan klien kami membelinya secara resmi. Kenapa baru sekarang dipersoalkan dengan menggunakan pipil nomor 456 yang sudah tidak berlaku,” tanyanya.